Cerpen ini
dibuat pada tahun 2010 untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia di SMA 1 Wonogiri,
dengan persentase 50% fakta dan 50% fiksi. Meski dengan bahasa yang masih sederhana, semoga cerpen ini dapat bermanfaat dan dapat dipetik hikmahnya. Dengan penuh rasa sayang, ku
persembahkan cerpen ini untukmu, Almarhum Ayahku. Ayah paling hebat di dunia,
yang senantiasa sabar, dan kasihnya tiada tara. Semoga Allah mengampunimu,
Ayahku. Semoga Dia berikan kenikmatan abadi dalam surga-Nya untukmu. Meski tak
lama aku bisa bersamamu di dunia ini, semoga Allah pertemukan kita di
jannah-Nya yang kekal. Semoga meski engkau telah jauh di sana, aku bisa tetap
membuatmu bangga, Ayah. Aamiin.
Cahaya Sebatang Rokok
Langit biru cerah terhampar di hadapanku.
Awan putih bergelombang melayang-layang lembut, bagai kapas putih yang tertiup
angin semilir. Pohon mangga di depan rumah menjulang tinggi. Warnanya hijau
bagaikan zamrud, menyejukkan di tengah siang hari yang suhunya sepanas ini.
Di teras rumah ini aku duduk.
Membiarkan hembusan angin membelai pipiku. Ujung jilbabku berkibar-kibar karena
angin itu. Aku masih berusaha memahami kata demi kata dalam tiap lembaran
kertas sambil menghirup udara siang yang panas. Sekali lagi ini terjadi dalam
hidupku, besok ulangan! Entah berapa kali lagi aku harus menghadapinya
sepanjang hidupku. Soal-soal untuk menguji pemahamanku. Terkadang malas
rasanya. Tiap kali membuka buku, nyanyian ‘Nina Bobo’ langsung terngiang di
telinga dan mengajak kelopak mata untuk mengatupkan dirinya. Tapi inilah
hidupku yang harus kujalani dan kusyukuri.
Ya, bersyukur. Bersyukur atas segala
hal. Bersyukur untuk segala kesempurnaan yang ada pada diriku dan bersyukur
untuk hidupku yang luar biasa berarti ini. Dan dengan memandang langit biru di
atas itu, rasa syukurku membuncah. Bagaimana tidak, warna biru adalah warna
yang sangat kusukai, dan warna itu terlukis di langit sebagai ciptaan-Nya yang
begitu mempesona. Asalkan hari cerah, warna biru itu akan selalu tampak di atas
sana. Namun
bukan berarti aku tak suka hujan, titik-titik air dari langit yang sejuk itu
juga ciptaan-Nya yang agung. Karena Dia Maha Agung. Hanya kepada-Nya lah aku
wajib bersyukur.
Aku ingat, beberapa waktu yang lalu
seorang guruku mengajarkanku tentang syukur. Beliau berkata bahwa aku harus
melihat sekelilingku dan bersyukur atas apa yang ada di sekitarku. Namun
bersyukur itu bukan berarti setelah kita mendapat hal yang kita sukai. Terkadang
kejadian buruk yang terjadi pada kita adalah sesuatu yang harus kita syukuri.
Kenapa? Karena bisa jadi kejadian buruk itulah yang membawa kita pada suatu hal
yang baik. Seperti kupu-kupu yang harus bersusah payah keluar dari kepompongnya
dalam waktu yang lama. Namun jika waktu keluar dari kepompong itu dipercepat,
sayapnya yang indah tidak akan dapat mengembang dengan sempurna.
Begitulah yang terjadi pada hidup
manusia, segala kesulitan yang harus dihadapi dalam hidup perlu juga disyukuri.
Karena kesulitan itulah yang akan membawa kita pada kekuatan. Maka inilah aku,
duduk di teras rumah dengan setumpuk buku. Berusaha mensyukuri segala hal yang
kuhadapi. Termasuk bersyukur untuk ulangan itu.
Aku akan berusaha semampuku agar nilaiku
baik. Mengapa? Tentu saja itu semua demi masa depanku juga kebahagiaan kedua
orang tuaku. Dua orang yang teramat kusyukuri keberadaannya di dunia. Dua orang
yang sering kusakiti namun tak pernah berkeluh kesah. Dua orang yang dengan
sabar merawat dan membimbingku. Dan dua orang yang amat menyayangiku. Mereka
memang tidak di sini. Mereka tinggal jauh di sana untuk bekerja. Sedangkan aku tinggal
bersama paman dan bibiku. Mereka mengirimku ke sini tak lain hanyalah untuk
menimba ilmu. Meraih masa depanku dengan gemilang.
Tentu saja kalau boleh memilih, aku
lebih suka tinggal dengan Ayah Ibuku. Selain lebih dekat dengan mereka, aku
bisa lebih mudah memperoleh bimbingan dari mereka. Lagipula tinggal dengan Ayah
dan Ibu, lingkungannya lebih sehat. Karena di desa, tempat tinggal Ayah dan Ibu
masih segar udaranya, dan udara dalam rumah pun bersih karena Ayah tak pernah
merokok. Lain halnya dengan di sini, di kota
besar yang penuh polusi. Selain itu, di sini tak hanya tinggal paman dan bibi,
nenek juga ada, begitu juga kakekku. Bukannya aku tak suka mereka, aku sayang
mereka semua. Yang membuatku tak suka, kakek itu seorang perokok berat. Setiap
hari kakek merokok setidaknya 2-3 batang bahkan mungkin lebih. Sedikitpun aku
tak suka ada orang yang merokok. Benci sekali aku ini dengan rokok. Apa
manfaatnya sih rokok itu? Tak ada!
Namun, aku tetap tinggal di sini, seperti kataku tadi, demi ilmu.
Seperti orang tua baik yang lainnya, Ayah dan Ibuku memintaku sekolah di sini
agar pendidikanku lebih terjamin. Karena, SMA di sini lebih berkualitas. Betapa
baiknya kedua orang tuaku ini. Sungguh, makin sayang aku pada mereka.
Hal itu mengingatkanku kepada seorang
sahabat yang bertanya pada seorang pria paling sempurna ciptaan Tuhan,”Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang lebih berhak aku utamakan?”
Rasulullah bersabda,”Ibumu.”
Sahabat itu bertanya lagi,”Lalu
siapakah?”
Rasulullah menjawab,”Ibumu.”
Lalu sahabat itu bertanya
lagi,”Kemudian siapa?”
Rasulullah kembali menjawab,”Ibumu.”
Sahabat tersebut kembali
bertanya,”Kemudian siapa?”
Rasulullah menjawab,”Ayahmu.”
Rasulullah saja bersabda kalau yang
lebih berhak diutamakan adalah ibu, tentu saja, sebagai umatnya yang baik aku
harus mengikuti sunnahnya.
Ibundaku yang tercinta. Yang kasihnya
tiada pernah pudar. Seorang yang melahirkanku ke dunia. Serta membesarkanku dengan
penuh rasa sayang. Jasanya selama hidupku tak akan pernah sanggup kubalas. Yang
bisa kulakukan hanyalah mengungkapkan rasa terima kasihku melalui kata-kata
pada tiap bait puisiku.
Ayahandaku yang tercinta. Seseorang
yang juga bermakna dalam hidupku. Berbagai puisi telah kutuliskan untuk Ibu, maka
inilah saatnya, biarlah kucurahkan dalam lembaran-lembaran kertas ini untuk
Ayahku. Kan
kusampaikan, betapa aku bangga memiliki seorang Ayah seperti dirinya.
Ayahku. Bagiku dialah pria kedua
yang paling hebat di dunia setelah Rasulullah yang kucinta. Beliaulah yang
membimbingku dan rela berkorban untukku. Dan satu hal yang sangat aku
banggakan, Ayah adalah orang yang amat sabar.
Aku mengingat suatu peristiwa dalam
hidupku yang terjadi kira-kira beberapa bulan yang lalu ketika liburan semester
pertama. Suatu ketika handphone-ku
rusak. Tak dapat dinyalakan, apalagi digunakan untuk berkomunikasi. Ketika
liburan, Ayah dan Ibu berkunjung ke rumah paman. Aku selama ini memang tak
perlu repot-repot mengunjungi mereka. Ayah, Ibu, serta Adik laki-lakikulah yang
mengunjungi rumah paman untuk bertemu denganku. Saat mereka tiba, aku merengek
kepada mereka. Meminta mereka untuk membawa handphone-ku
ke toko selular untuk diperbaiki.
“Rusak? Kok bisa? Ya sudah, nanti
agak sore kita bawa ke toko HP untuk diperbaiki,” ujar Ibu ketika mendengar
keluhanku.
Siang hari itu Ayah banyak bekerja
dalam rumah, sekedar bersih-bersih, sedangkan Ibu memasak. Ketika sore
menjelang, aku kembali mempertanyakan masalah handphone yang rusak itu.
“Iya, Ndhuk. Tapi besok saja ya, Ibu dan Ayah masih lelah,” kata Ibu
kepadaku.
“Ibu ini bagaimana, tadi siang Ibu
bilang mau diperbaiki nanti sore. Ini
sudah hampir sore lho, Bu. Kok malah
ditunda besok?” protesku.
“Lha
Ibu dan Ayah ini capek, Ndhuk. Memangnya
tidak bisa ditunda sebentar saja. Cuma besok, kok,” kata Ibu.
“Ibu kan sudah berjanji,” aku tak mau kalah.
“Tapi…,” Ibu hendak menimpali namun
telah dipotong oleh Ayah.
“Sudahlah, Bu. Nanti saja kita ke
toko HP untuk membetulkan HP-nya Anna,” kata Ayah menengahi.
“Ayah ini apa tidak capek, tadi
sudah bersih-bersih seharian,” kata Ibu.
“Ya sedikit, tapi kan
kasihan Anna, Bu. Handphone-nya rusak
dan harus segera diperbaiki,” Ayah membelaku.
“Baiklah, tapi Ibu tidak bisa ikut, ya. Ibu mau di rumah saja, capek,”
kata Ibu.
“Ya sudah, biar Anna Ayah saja yang
antar,” kata Ayah.
Aku senang sekali mendengarnya. Tak
lama lagi, handphone-ku yang rusak
akan segera diperbaiki. Aku segera menyiapkan sebuah tas biru yang akan
kugunakan untuk membawa HP-ku yang rusak ke toko itu.
***
Sore hari itu Ayah memenuhi
janjinya. Beliau mengantarku ke tempat servis HP. Adik laki-lakiku ternyata
ingin ikut juga. Ia tak pernah mau ditinggal. Kami bertiga naik sepeda motor
milik paman, karena Ayah tidak membawa sepeda motornya ke sini. Ayah, Ibu, dan Adik
mengunjungi paman dan bibi dengan menaiki bus. Sepeda motor itu masih cukup
untuk dinaiki bertiga karena Adikku masih kecil. Ayah menjalankan sepeda
motornya dengan kecepatan sedang, tempat servis HP yang kami tuju tidaklah
jauh. Hanya sekitar 2 km. Letaknya di daerah pasar. Kebetulan hari sudah sore,
jadi pasar itu sudah tidak terlalu
ramai.
Seteleh tiba di halaman depan sebuah
toko bercat kuning, kami turun. Di situlah tempat servis HP itu berada. Aku, Ayah,
dan Adikku pun masuk. Memang pelayanannya tidaklah terlalu ramah. Seorang pegawai
wanita berseragam kuning yang ada di toko itu sedikitpun tidak tersenyum,
menyambut pun tidak. Berbeda sekali dengan orang Jepang yang setiap kali
tokonya disinggahi oleh pelanggan, mereka akan tersenyum dan menyambut
pelanggan itu dengan hangat.
Aku, Ayah, dan Adikku duduk di
kursi-kursi yang berjajar di depan rak kaca tempat banyak handphone dipajang, dipamerkan kepada khayalak agar mereka tertarik
membelinya. Namun tak satupun yang benar-benar ingin aku beli. Aku hanya ingin handphone-ku segera dapat digunakan
lagi.
Ayah menyampaikan kerusakan handphone-ku kepada pegawai wanita yang tampaknya
memang tidak tahu caranya tersenyum itu.
“…layarnya tiba-tiba mati, terus
tidak bisa dinyalakan lagi sampai sekarang…” jelas Ayah panjang lebar.
Aku tak benar-benar mendengarkan apa
yang Ayah bicarakan dengan pegawai itu, lagipula Adikku terus saja usil, bahkan
dia sekarang menjulur-julurkan lidahnya padaku.
Pegawai itu pun beranjak dari
kursinya, ia memanggil atasannya setelah merasa dirinya tidak tahu apa yang
menyebabkan handphone-ku bisa rusak
begitu. Seorang pria agak gemuk menduduki kursi yang tadi dipakai pegawai itu.
Kupikir dialah pemilik toko handphone itu.
Ia menanyakan kembali kerusakan handphone-ku.
Lalu mencoba memikirkan apa yang menjadi penyebabnya.
“Wah, sepertinya cukup parah, Pak.
Apa ditinggal dulu saja? Sepertinya cukup lama memperbaikinya, mungkin besok
jadi,” ujar pria yang agak gemuk itu.
Ayahku memandangku sekilas lalu
berkata,”Bagaimana, Ndhuk?”
“Ya sudah, Yah. Ditinggal saja tidak
apa-apa. Besok kalau sudah jadi diambil,” kataku.
Ayah kembali berkata kepada pria
tersebut,”Baiklah, HP-nya ditinggal saja dulu, besok diambil. Kira-kira jam
berapa bisa jadi, Pak?”
“Belum jelas jam berapa, bagaimana
kalau saya minta nomor yang dapat dihubungi saja, besok saya kabari lewat
telepon,” kata pemilik toko itu.
“Tolong tuliskan nomor Ayah, Ndhuk. Kamu hafal kan?” tanya Ayah.
“Ya, Ayah,” kataku. Aku pun
menyebutkan tiap digit nomor handphone
Ayahku dengan teliti, kemudian si pemilik toko menyimpannya dalam telepon
genggamnya.
Setelah itu, si pemilik toko yang
agak gemuk itu menuliskan sesuatu pada selembar kertas, mungkin itu notanya. Ia
lalu menyerahkannya pada Ayahku.
Ayahku berpamitan, lalu kami semua
naik kembali ke atas sepeda motor untuk pulang.
***
Liburan seperti ini jika tidak sibuk
di rumah, aku biasanya jalan-jalan ke pusat kota bersama Adikku dan saudara-saudara
sepupuku. Hari ini pun sebenarnya aku sedang tidak sibuk di rumah, namun aku
mengurungkan niat untuk jalan-jalan ke pusat kota karena aku masih menunggu kabar tentang handphone-ku.
Sekarang sudah tengah hari, adzan Dzuhur sayup-sayup terdengar dari
masjid di ujung jalan dekat rumahku. Namun telepon genggam Ayah tak juga
berdering. Pukul 9 pagi tadi telepon Ayah berdering sekali, namun ternyata yang
menelepon adalah rekan kerja Ayahku. Aku kecewa. Sampai tengah hari begini
belum ada kabar mengenai handphone-ku.
Aku menghabiskan waktu dengan bermain laptop bersama saudara-saudaraku
atau menonton acara televisi. Hanya itulah hal-hal yang dapat mengurangi rasa
bosanku menunggu.
Pukul 3 sore. Tak ada seorangpun yang menghubungi. Ayah sepertinya tahu kalau
aku sedang menunggu kabar mengenai telepon genggamku. Beliau juga tampak risau,
mengapa sampai sore begini belum ada kabar. Padahal pemilik toko HP itu sudah
berjanji akan menelepon kami hari ini.
“Belum ada telepon, Ndhuk?”
tanya Ayah kepadaku.
“Belum ada, Yah,” jawabku.
“Masa belum ada kabar, katanya
yang punya toko itu, hari ini mau telepon,” kata Ayah. “Ya sudah, Ayah kok
malah penasaran, Ndhuk, nanti jam 4
kita ke toko itu lagi ya?” lanjutnya.
“Iya Ayah,” kataku.
“Ayah, Adik ikut!” teriak Adik sambil berlari.
“Iya, iya, Adik nanti boleh ikut,” ucap Ayah dengan tenang.
Pukul 4 sore aku sudah mandi, begitu pula Adik dan Ayah. Ayah kembali
meminjam sepeda motor milik paman untuk pergi ke toko HP yang kami datangi
kemarin sore. Sedangkan aku mengambil tas biru yang kupakai kemarin.
Usai memarkir sepeda motor, Ayah masuk ke dalam toko bercat kuning itu
diikuti oleh aku dan Adik. Ayah duduk di salah satu kursi yang berada di depan
pria pemilik toko HP yang agak gemuk itu. Beliau lalu menanyakan perihal handphone-ku.
“Maaf, Pak. Kami sudah ke sini sebelum dihubungi oleh Anda. Soalnya
sejak pagi saya tunggu-tunggu, Anda tidak telepon juga, jadi kami memutuskan
untuk ke sini. Jadi bagaimana HP-nya, Pak?” tanya Ayah dengan tenang.
“Oh, ya. Sebentar,” pria yang agak gemuk itu menekan-nekan handphone miliknya lalu menelepon
seseorang. Ia terlibat percakapan yang cukup serius.
Aku mendengar kata-kata “gimana?”
lalu “belum?” setelah itu “kapan? Oh, ya, ya begitu. Ya sudah.” Dan telepon pun
diputus.
“Aduh, maaf. Sepertinya HP Anda masih diperbaiki, kata petugas yang memperbaiki,
kerusakannya cukup parah. Mungkin besok siang atau sore Anda bisa ke sini
lagi,” kata pemilik toko sambil meletakkan ponselnya.
“Besok?” tanya Ayah. “Wah, ya sudah. Insya
Allah besok sore saya datang lagi, kalau begitu kami permisi,” lanjutnya, lalu
kami beranjak dari toko itu.
***
Hari ini aku kembali menolak ajakan saudara sepupuku untuk jalan-jalan
ke pusat kota.
“Besok, deh. Aku mau nunggu HP-ku jadi dulu,” alasan ini
berkali-kali kuucapkan pada mereka.
“Ambilnya nanti sore saja, Kak. Sekarang, kita jalan-jalan,” kata Dinda,
salah satu saudara sepupuku ketika membujukku.
“Siang-siang begini, kan
panas sekali,” aku berusaha mencari alasan.
“Ah, Kak Anna nggak asyik,”
ujar Fadhil kakak Dinda.
“Makanya, doakan supaya HP-ku
cepat jadi, nanti kan kita bisa jalan-jalan ke
kota,” kataku.
“Kak Anna ini keras kepala. Ya sudah, aku ikut doakan. Tapi pokoknya
kalau HP kakak sudah jadi, kakak janji ya, habis itu kita jalan-jalan, oke?”
tanya Dinda.
“Insya Allah,” jawabku.
***
Sore itu Ayah kembali mengantarku ke tempat servis HP yang kami datangi
kemarin. Adik ikut lagi. Dia membawakan tas biru milikku, tak biasanya dia mau
membantu membawakan tasku, ia pasti menginginkan sesuatu. Adik menyerahkan tas
itu sambil merayu, katanya dia minta jajan mie ayam kalau HP-ku sudah jadi. Aku
menyuruhnya bertanya pada Ayah, karena aku sedang tidak punya uang.
“Kata Ayah, Adik disuruh Tanya sama Kakak,” katanya.
“Kalau Kakak sih mau saja,
coba tanya lagi deh sama Ayah,”
pintaku.
Adik berjalan ke arah Ayah, menanyakan hal yang kusuruh tadi, terdengar
Ayah berkata, “Ya.” Lalu kami berangkat.
Untuk yang ketiga kalinya kami memasuki ruangan bercat kuning itu. Kami
bertanya pada petugas wanita yang pernah kami temui dulu. Dengan masih sama
cemberutnya, ia berkata bahwa Pak Andri, si pemilik toko, sedang pergi
mengambil HP di salah satu cabang tokonya yang lain dan kami diminta menunggu.
Barulah aku tahu nama pemilik toko yang agak gemuk itu adalah Pak Andri.
Aku berbincang sedikit dengan Ayah dan Adik ketika menunggu Pak Andri.
Rasanya lama sekali Pak Andri tak juga datang, petugas wanita itu membiarkan
kami menunggu, sedangkan ia menemui pelanggan lain.
Sekitar seperempat jam kami menunggu, akhirnya Pak Andri tiba. Ia segera
menemui kami, lalu ia berkata, “Maaf.”
“Tidak apa-apa, Pak. Jadi, bagaimana?” Ayah bertanya padanya.
Dan sekali lagi Pak Andri itu berkata, “Maaf.”
Aku sudah tahu pasti kelanjutan jawabannya, pasti dia akan berkata bahwa
telepon genggamku belum sepenuhnya dibetulkan. Mungkin besok sore lagi, besok
sore lagi, besok sore lagi…
“Belum jadi, Pak, handphone-nya.
Kalau besok sore mungkin sudah jadi,” katanya. Persis seperti dugaanku.
Kami pulang dengan tangan hampa. Apakah besok sore masih belum jadi
juga? Lalu kapan?
Ayah mengendarai sepeda motornya kembali ke rumah dengan kecepatan
sedang, seperti biasa. Adik juga tampak sangat kecewa.
“Huh, nggak jadi beli mie
ayam…” keluh Adik.
Tanpa kami sadari, Ayah memperlambat laju sepeda motornya, lalu menepi.
Ternyata Ayah membawa kami ke sebuah warung mie ayam. Adik sangat senang.
“Wah, kita beli mie ayam, Yah?” tanya Adik kepada Ayah.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Tapi HP kakak belum selesai dibetulkan, kok Ayah sudah beliin mie ayam?” tanya Adik penasaran.
“Nggak apa-apa. Kan katanya Adik ingin
makan mie ayam,” Ayah tersenyum tulus. “Tapi dibungkus saja, ya? Kita makan
sama-sama di rumah.”
“Baik Ayah,” kata Adik.
“Terima kasih Ayah,” kataku.
“Iya, Adik juga mau bilang terima kasih sama Ayah,” kata Adik.
Kami memesan mie ayam dalam jumlah yang cukup banyak untuk dimakan
bersama-sama di rumah. Karena, seluruh keluarga besar kakek dan nenek sedang
berkumpul untuk menikmati liburan.
***
Kokok ayam jantan membangunkanku pukul 5 pagi keesokan harinya, Ayah dan
Ibu telah bangun lebih awal dariku, mereka telah shalat Shubuh, dan sekarang
telah duduk-duduk di depan rumah. Aku bergegas mengambil air wudhu lalu
mendirikan shalat. Setelah itu menyusul yang lain di depan rumah.
Saudara-saudaraku yang lain juga telah duduk-duduk di depan rumah bersama Ayah
dan Ibu. Sudah menjadi kebiasaan kami tiap pagi jalan santai keliling kompleks
rumah.
Hari ini berjalan seperti biasa, saudara sepupuku kembali merengek
mengajak jalan-jalan ke pusat kota.
“Kalau nggak jadi-jadi HP-nya
kapan kita jalan-jalan, Kak? Udah, deh, kita
jalan saja sekarang!” Dinda tak sabar lagi.
“Kalau mau ya pergi saja sendiri, aku nggak bisa, Dik,” kataku.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi besok, terserah aku mau ikut atau
tidak, pokoknya besok!
Sore harinya, pukul 4, aku kembali pergi ke toko HP Pak Andri bersama Ayah
dan Adikku dengan membawa tas biru kesayanganku. Aku tak mau berharap banyak.
Paling nanti belum jadi, terus bilang ‘besok saja datang kemari lagi, mungkin
sudah jadi’. Aku sudah muak.
Di toko bercat kuning itu, Pak Andri sedang duduk membersihkan
ponsel-ponsel yang dipajang di rak kaca. Ayah langsung duduk di depannya, namun
tiba-tiba Ayah berdiri lagi.
“Astaghfirullah!” teriaknya
sambil berdiri.
“Ada
apa, Yah?” tanyaku dan Adik hampir bersamaan.
Tepat di atas kursi yang Ayah duduki, sebatang rokok yang masih panjang
menyala. Seseorang pria gemuk jelek yang duduk di samping kursi Ayah terkejut,
lalu segera mengambil rokok itu. Kurasa itu pemiliknya.
Betapa herannya aku, rokok yang telah diduduki Ayah itu tidak
dibuangnya, melainkan dihisap lagi! Panas sekali rasanya dadaku ini, bukan,
bukan karena rokoknya. Tapi karena tiba-tiba dia tertawa! Mungkin baginya ini
lucu, bagi orang-orang di toko itu, hal ini merupakan suatu hiburan baru. Tapi
tidak untukku. Tidakkah dia merasa kalau rokoknya yang diletakkan sembarangan itu
bisa membuat orang lain terluka? Tidakkah dia berpikir asapnya pun mengganggu
orang lain. Bahkan ia tidak mengucapkan kata maaf sama sekali! Orang macam apa
dia! Sudah gemuk, jelek pula! Ingin rasanya aku meneriakinya. Tapi mana
mungkin, banyak orang, nanti malah ribut.
Tapi Ayah hanya diam. Setelah rokok yang baru saja ia duduki diambil
pemiliknya, beliau duduk dengan tenang di depan kursi Pak Andri. Pak Andri
langsung mengerti apa maksudnya. Ia memanggil petugasnya, seorang laki-laki
kurus menghampirinya. Setelah itu Pak Andri menyuruh laki-laki itu mengambil
HP-ku, lalu ia pergi.
Ayah masih berbincang-bincang dengan Pak Andri. Sementara aku masih
kesal memandang pemilik rokok yang Ayah duduki tadi. Aku mengibas-ngibaskan
tanganku menunjukkan betapa aku tak suka asap rokok, dan memasang muka sebal.
Orang tadi tak acuh.
“Tenang saja, Pak. Sekarang sudah diperbaiki. Cukup parah memang,” kata
Pak Andri kepada Ayah.
Beberapa menit kemudian laki-laki kurus tadi kembali dengan membawa
sebuah telepon genggam berwarna hitam yang kukenali. Itu handphone-ku. Ia lalu menyerahkannya kepada Pak Andri, yang
langsung menyerahkannya kepada Ayahku.
Ayah mengamati ponsel itu, lalu mencoba menyalakannya. Setelah cukup
yakin, ia serahkan padaku.
“Bagaimana, Ndhuk?” Ayah
bertanya.
Aku meraihnya dari tangan Ayah dan mencoba menggunakannya. Setelah
kuamati ternyata HP-ku telah diformat, dikembalikan ke pengaturan awal seperti
baru. Beberapa program aplikasiku hilang, game
dan internet browser. Tapi tak apa,
asalkan ponselku ini masih bisa digunakan. Aku mengangguk.
“Sepertinya sudah bagus, Yah,” kataku.
“Alhamdulillah,” Ayah menghela
napas lega.
Setelah yakin handphone-ku
telah pulih, Ayah mengeluarkan uang sebanyak Rp 50.000,00 untuk membayar
biayanya. Kami pamitan, aku masih melirik pria gemuk jelek perokok tadi. Dia
masih asyik tertawa-tawa dengan petugas wanita pemurung yang kami temui
kemarin. Anehnya, wanita itu sekarang tertawa keras. Aku curiga mereka masih
ngobrol tentang kejadian tadi.
Daripada semakin emosi, aku segera keluar mengikuti Ayah ke arah
parkiran.
Aku langsung bertanya pada Ayah setelah kami berada di tempat parkir, di
luar jarak dengar orang-orang yang ada di toko HP tadi,“Ayah tidak apa-apa?
Rokoknya tadi…”
“Tidak apa-apa, celana Ayah cuma berlubang sedikit,” Ayah memotong
kata-kataku. Anehnya lagi, Ayah juga tertawa.
Aku melihat ada bekas terbakar di celananya, kecil, memang. Tapi aku tak
bisa terima perlakuan orang tadi kepadanya.
“Kok Ayah tertawa?! Kan
nggak lucu, kalau Ayah luka bagaimana? Masa
menaruh rokok di atas kursi! Nggak
dibuang, malah dihisap lagi! Lagipula kok bisa sih orang tadi malah tertawa, nggak
minta maaf sedikitpun!” aku malah marah-marah di depan Ayah.
“Sudahlah, kita pulang dulu,” Ayah langsung menyalakan sepeda motornya.
Aku tak habis pikir, Ayah malah tertawa. Padahal aku begitu emosinya.
Beberapa menit berlalu, kami tiba di rumah. Aku membuka tas biruku yang
di dalamnya terdapat telepon genggamku yang baru saja diperbaiki. Mencoba
mengeceknya sekali lagi, dan hasilnya cukup memuaskan. Ayah bercerita kepada Ibu
tentang kerusakan HP-ku. Aku ingat kejadian tadi.
Aku pun menceritakannya kepada Ibu. Lagi-lagi Ayah tertawa.
“Ayah! Kok tertawa lagi?! Anna saja yang nggak kena rokok itu kesal dibuatnya. Anna nggak bisa bayangkan lho,
Bu. Orang itu malah tertawa sama petugas toko perempuan yang nggak pernah tersenyum itu! Bagaimana nggak kesal coba, Bu!” aku marah-marah.
“Yang kena Ayah kok kamu yang sewot sih,
Ndhuk?” Ayah masih tersenyum.
“Ayah itu, lho! Kebiasaan
kalau duduk nggak hati-hati.
Lihat-lihat dulu to, kalau mau duduk.
Orang itu kok ya nggak minta maaf
gitu, nggak ada rasa pekewuh sama sekali. Malah diambil lagi
terus dihisap, orang kok ya ada yang kayak
gitu!” Ibu ikut marah.
“Itu dia, Bu. Anna juga berpikir begitu, Ayah juga malah diam saja,” aku
menimpali.
“Terus Ayah mau bagaimana lagi?” tanya Ayah.
Aku dan Ibu terdiam.
“Harusnya kita bersyukur, HP-mu sudah bisa dipakai lagi, Ndhuk.” Ayah menasihati. “Mudah-mudahan nggak rusak lagi, jadi Ayah Ibu bisa
menghubungi kamu lebih mudah. Jangan lupa, kamu besok bisa ajak Adik-adikmu
jalan-jalan ke kota,”
lanjutnya.
***
Menjelang adzan maghrib, aku duduk sendiri di teras rumah. Tempat kegemaranku
menghabiskan waktu sore. Aku membawa setumpuk buku, mencoba membaca sambil
menikmati udara sore hari.
Ayah menghampiriku di teras.
“Belajar, Ndhuk?” tanya Ayah.
Aku mengangguk.
“Bagus, yang rajin ya, Ndhuk.
Ayah mau lihat kamu jadi gadis shalehah dan sukses,” kata Ayah.
“Insya Allah, Yah. Doakan
Anna,” ucapku.
Ayah terdiam sejenak.
“Tidak seharusnya kamu marah-marah seperti tadi,” aku tahu apa yang
dimaksudkan Ayah. Pasti masalah tadi.
“Tapi Anna kasihan sama Ayah, memang cuma sedikit bekasnya, tapi dia
tidak minta maaf, Ayah,” protesku. Boleh saja kan kalau aku marah untuk membela Ayahku?
“Iya, Ayah tahu. Kamu seperti itu karena sayang pada Ayah, tapi, Anna
jangan sampai emosi berlebihan seperti itu,” Ayah menasihati. “Kita harus
sabar,” lanjutnya.
Ayah menghela napas sejenak, di sudut matanya telah tampak garis-garis
keriputnya. Rambutnya di bagian tengah kepala sudah mulai berwarna putih.
Selama ini beliau begitu banyak mencurahkan tenaganya untuk bekerja demi aku.
“Dengar, Ndhuk. Ayah mungkin
tidak benar-benar bisa bersabar sepenuhnya, tapi kamu harus tahu, Ndhuk. Kesabaran itu sangat disukai
Allah. Allah sangat memurkai orang-orang yang tidak dapat menahan hawa
nafsunya, Allah menyukai orang-orang yang sabar. Sabar itu cahaya. Kesabaran
yang ada pada dirimu akan menerangi hatimu. Bahkan kesabaran itu akan
memberikan cahaya pada sekelilingmu,” kata Ayah.
Aku bingung pada kalimat terakhir yang Ayah ucapkan tadi. Dan sepertinya
Ayah tahu kalau aku sedang bingung.
“Kamu akan tahu setelah kamu bisa bersabar, Ndhuk. Allah sendiri yang akan membalasnya. Sungguh, bersabar itu
indah, cobalah sedikit bersabar. Mengerjakan tugasmu, misalnya. Kalau kamu
kerjakan dengan grusa-grusu, setengah
hati, tentu saja nilai tugasmu tidak maksimal. Tapi kalau kamu sabar, mau
teliti, Ndhuk. Insya Allah hasilnya bagus. Bayangkan kalau kamu hidup dengan
bersabar, apa yang kamu dapat di akhirat nanti? Surga, Ndhuk. Sesuai janji-Nya,” jelas Ayah panjang lebar.
Kedua matanya menatapku dengan sayang. Sementara bulir-bulir air mata
menetes hangat di pipiku.
“Jadi bersabarlah, Ndhuk. Insya Allah semua keinginanmu bisa
terwujud. Ayah dengar kamu mau kuliah Kedokteran di UGM to? Susah memang, Ayah juga tahu.
Tapi kalau kita sabar, Allah pasti memberi kita jalan,” lanjutnya.
Aku memang menginginkan masuk kedokteran UGM. Aku pun tahu, masuk UGM
itu sangat susah, apalagi Kedokteran Umum. Memang hidup kami saat ini serba
cukup, dan Alhamdulillah, sangat
cukup. Namun masuk universitas hebat seperti UGM, tentu saja tidak sedikit
biayanya. Butuh usaha ekstra. Itulah kenapa Ayah dan Ibu selalu bekerja tak
kenal lelah. Mengingat ini, aku sangat kasihan pada mereka. Rasanya aku hanya
menyusahkan mereka. Paling tidak, hanya ada dua hal yang dapat kulakukan untuk
mereka. Belajar agar lolos seleksi melalui jalur prestasi agar dapat
meringankan beban mereka, dan selalu mendoakan mereka.
Ayahku benar-benar luar biasa. Aku kagum atas kesabarannya. Dan kini,
beliau mengajarkan padaku tentang kesabaran. Memberiku sebuah nasihat berharga
yang akan terus kubawa sepanjang hidupku. Nasihat dari Ayahku yang kusayang.
Sungguh menyentuh hati. Aku akan berusaha seperti Ayah, bersabar meniti hidup.
Ayahku yang kubanggakan, demi dia dan Ibundaku aku ikhlas menuntut ilmu
di sini. Sungguh-sungguh aku berjanji tak akan membuat mereka terluka lagi, dan
lagi.
***
Sore ini, aku kembali duduk di teras rumahku, sendiri. Kembali menekuni
lembaran-lembaran buku. Aku juga harus belajar, apalagi untuk ulangan besok.
Ayah dan Ibuku telah kembali ke tempat mereka bekerja, Adik ikut serta. Angin
sore berhembus sepoi-sepoi, menembus serat kain jilbabku ketika aku mengingat salah
satu pelajaran yang amat berharga dari Ayahku.
Dalam hati aku sungguh bersyukur atas segala hal yang pernah terjadi
waktu itu. Sebatang rokok panas yang menyala itu tak hanya menyisakan setitik
lubang di celana Ayah. Namun karena bimbingan Ayah, sekarang aku paham. Setiap
lika-liku hidup membawa sebuah pemahaman. Sebatang rokok itu pun juga. Aku
tahu, rokok memanglah bukan barang yang berguna. Aku bahkan sangat benci
asapnya. Aku menyesali pemakaiannya oleh manusia, tak banyak faedahnya. Namun,
batang rokok yang ada waktu itu lain. Batang
rokok itu membawa cahaya. Secercah cahaya kesabaran.
***
Ditulis oleh
: Ima Wasista, diselesaikan pada 4 September 2010, 19:16 WIB di Kota Wonogiri
tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar