Selasa, 02 Oktober 2012

Sebuah Cerpen untuk Ayah: "Cahaya Sebatang Rokok"

Cerpen ini dibuat pada tahun 2010 untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia di SMA 1 Wonogiri, dengan persentase 50% fakta dan 50% fiksi. Meski dengan bahasa yang masih sederhana, semoga cerpen ini dapat bermanfaat dan dapat dipetik hikmahnya. Dengan penuh rasa sayang, ku persembahkan cerpen ini untukmu, Almarhum Ayahku. Ayah paling hebat di dunia, yang senantiasa sabar, dan kasihnya tiada tara. Semoga Allah mengampunimu, Ayahku. Semoga Dia berikan kenikmatan abadi dalam surga-Nya untukmu. Meski tak lama aku bisa bersamamu di dunia ini, semoga Allah pertemukan kita di jannah-Nya yang kekal. Semoga meski engkau telah jauh di sana, aku bisa tetap membuatmu bangga, Ayah. Aamiin.

Cahaya Sebatang Rokok

            Langit biru cerah terhampar di hadapanku. Awan putih bergelombang melayang-layang lembut, bagai kapas putih yang tertiup angin semilir. Pohon mangga di depan rumah menjulang tinggi. Warnanya hijau bagaikan zamrud, menyejukkan di tengah siang hari yang suhunya sepanas ini.
            Di teras rumah ini aku duduk. Membiarkan hembusan angin membelai pipiku. Ujung jilbabku berkibar-kibar karena angin itu. Aku masih berusaha memahami kata demi kata dalam tiap lembaran kertas sambil menghirup udara siang yang panas. Sekali lagi ini terjadi dalam hidupku, besok ulangan! Entah berapa kali lagi aku harus menghadapinya sepanjang hidupku. Soal-soal untuk menguji pemahamanku. Terkadang malas rasanya. Tiap kali membuka buku, nyanyian ‘Nina Bobo’ langsung terngiang di telinga dan mengajak kelopak mata untuk mengatupkan dirinya. Tapi inilah hidupku yang harus kujalani dan kusyukuri.
            Ya, bersyukur. Bersyukur atas segala hal. Bersyukur untuk segala kesempurnaan yang ada pada diriku dan bersyukur untuk hidupku yang luar biasa berarti ini. Dan dengan memandang langit biru di atas itu, rasa syukurku membuncah. Bagaimana tidak, warna biru adalah warna yang sangat kusukai, dan warna itu terlukis di langit sebagai ciptaan-Nya yang begitu mempesona. Asalkan hari cerah, warna biru itu akan selalu tampak di atas sana. Namun bukan berarti aku tak suka hujan, titik-titik air dari langit yang sejuk itu juga ciptaan-Nya yang agung. Karena Dia Maha Agung. Hanya kepada-Nya lah aku wajib bersyukur.
            Aku ingat, beberapa waktu yang lalu seorang guruku mengajarkanku tentang syukur. Beliau berkata bahwa aku harus melihat sekelilingku dan bersyukur atas apa yang ada di sekitarku. Namun bersyukur itu bukan berarti setelah kita mendapat hal yang kita sukai. Terkadang kejadian buruk yang terjadi pada kita adalah sesuatu yang harus kita syukuri. Kenapa? Karena bisa jadi kejadian buruk itulah yang membawa kita pada suatu hal yang baik. Seperti kupu-kupu yang harus bersusah payah keluar dari kepompongnya dalam waktu yang lama. Namun jika waktu keluar dari kepompong itu dipercepat, sayapnya yang indah tidak akan dapat mengembang dengan sempurna.
            Begitulah yang terjadi pada hidup manusia, segala kesulitan yang harus dihadapi dalam hidup perlu juga disyukuri. Karena kesulitan itulah yang akan membawa kita pada kekuatan. Maka inilah aku, duduk di teras rumah dengan setumpuk buku. Berusaha mensyukuri segala hal yang kuhadapi. Termasuk bersyukur untuk ulangan itu.
            Aku akan berusaha semampuku agar nilaiku baik. Mengapa? Tentu saja itu semua demi masa depanku juga kebahagiaan kedua orang tuaku. Dua orang yang teramat kusyukuri keberadaannya di dunia. Dua orang yang sering kusakiti namun tak pernah berkeluh kesah. Dua orang yang dengan sabar merawat dan membimbingku. Dan dua orang yang amat menyayangiku. Mereka memang tidak di sini. Mereka tinggal jauh di sana untuk bekerja. Sedangkan aku tinggal bersama paman dan bibiku. Mereka mengirimku ke sini tak lain hanyalah untuk menimba ilmu. Meraih masa depanku dengan gemilang.
           Tentu saja kalau boleh memilih, aku lebih suka tinggal dengan Ayah Ibuku. Selain lebih dekat dengan mereka, aku bisa lebih mudah memperoleh bimbingan dari mereka. Lagipula tinggal dengan Ayah dan Ibu, lingkungannya lebih sehat. Karena di desa, tempat tinggal Ayah dan Ibu masih segar udaranya, dan udara dalam rumah pun bersih karena Ayah tak pernah merokok. Lain halnya dengan di sini, di kota besar yang penuh polusi. Selain itu, di sini tak hanya tinggal paman dan bibi, nenek juga ada, begitu juga kakekku. Bukannya aku tak suka mereka, aku sayang mereka semua. Yang membuatku tak suka, kakek itu seorang perokok berat. Setiap hari kakek merokok setidaknya 2-3 batang bahkan mungkin lebih. Sedikitpun aku tak suka ada orang yang merokok. Benci sekali aku ini dengan rokok. Apa manfaatnya sih rokok itu? Tak ada!
Namun, aku tetap tinggal di sini, seperti kataku tadi, demi ilmu. Seperti orang tua baik yang lainnya, Ayah dan Ibuku memintaku sekolah di sini agar pendidikanku lebih terjamin. Karena, SMA di sini lebih berkualitas. Betapa baiknya kedua orang tuaku ini. Sungguh, makin sayang aku pada mereka.
            Hal itu mengingatkanku kepada seorang sahabat yang bertanya pada seorang pria paling sempurna ciptaan Tuhan,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang lebih berhak aku utamakan?”
            Rasulullah bersabda,”Ibumu.”
            Sahabat itu bertanya lagi,”Lalu siapakah?”
            Rasulullah menjawab,”Ibumu.”
            Lalu sahabat itu bertanya lagi,”Kemudian siapa?”
            Rasulullah kembali menjawab,”Ibumu.”
            Sahabat tersebut kembali bertanya,”Kemudian siapa?”
            Rasulullah menjawab,”Ayahmu.”
            Rasulullah saja bersabda kalau yang lebih berhak diutamakan adalah ibu, tentu saja, sebagai umatnya yang baik aku harus mengikuti sunnahnya.
            Ibundaku yang tercinta. Yang kasihnya tiada pernah pudar. Seorang yang melahirkanku ke dunia. Serta membesarkanku dengan penuh rasa sayang. Jasanya selama hidupku tak akan pernah sanggup kubalas. Yang bisa kulakukan hanyalah mengungkapkan rasa terima kasihku melalui kata-kata pada tiap bait puisiku.
            Ayahandaku yang tercinta. Seseorang yang juga bermakna dalam hidupku. Berbagai puisi telah kutuliskan untuk Ibu, maka inilah saatnya, biarlah kucurahkan dalam lembaran-lembaran kertas ini untuk Ayahku. Kan kusampaikan, betapa aku bangga memiliki seorang Ayah seperti dirinya.
            Ayahku. Bagiku dialah pria kedua yang paling hebat di dunia setelah Rasulullah yang kucinta. Beliaulah yang membimbingku dan rela berkorban untukku. Dan satu hal yang sangat aku banggakan, Ayah adalah orang yang amat sabar.
            Aku mengingat suatu peristiwa dalam hidupku yang terjadi kira-kira beberapa bulan yang lalu ketika liburan semester pertama. Suatu ketika handphone-ku rusak. Tak dapat dinyalakan, apalagi digunakan untuk berkomunikasi. Ketika liburan, Ayah dan Ibu berkunjung ke rumah paman. Aku selama ini memang tak perlu repot-repot mengunjungi mereka. Ayah, Ibu, serta Adik laki-lakikulah yang mengunjungi rumah paman untuk bertemu denganku. Saat mereka tiba, aku merengek kepada mereka. Meminta mereka untuk membawa handphone-ku ke toko selular untuk diperbaiki.
            “Rusak? Kok bisa? Ya sudah, nanti agak sore kita bawa ke toko HP untuk diperbaiki,” ujar Ibu ketika mendengar keluhanku.
            Siang hari itu Ayah banyak bekerja dalam rumah, sekedar bersih-bersih, sedangkan Ibu memasak. Ketika sore menjelang, aku kembali mempertanyakan masalah handphone  yang rusak itu.
            “Iya, Ndhuk. Tapi besok saja ya, Ibu dan Ayah masih lelah,” kata Ibu kepadaku.
            “Ibu ini bagaimana, tadi siang Ibu bilang mau  diperbaiki nanti sore. Ini sudah hampir sore lho, Bu. Kok malah ditunda besok?” protesku.
            Lha Ibu dan Ayah ini capek, Ndhuk. Memangnya tidak bisa ditunda sebentar saja. Cuma besok, kok,” kata Ibu.
            “Ibu kan sudah berjanji,” aku tak mau kalah.
            “Tapi…,” Ibu hendak menimpali namun telah dipotong oleh Ayah.
            “Sudahlah, Bu. Nanti saja kita ke toko HP untuk membetulkan HP-nya Anna,” kata Ayah menengahi.
            “Ayah ini apa tidak capek, tadi sudah bersih-bersih seharian,” kata Ibu.
“Ya sedikit, tapi kan kasihan Anna, Bu. Handphone-nya rusak dan harus segera diperbaiki,” Ayah membelaku.
“Baiklah, tapi Ibu tidak bisa ikut, ya. Ibu mau di rumah saja, capek,” kata Ibu.
            “Ya sudah, biar Anna Ayah saja yang antar,” kata Ayah.
            Aku senang sekali mendengarnya. Tak lama lagi, handphone-ku yang rusak akan segera diperbaiki. Aku segera menyiapkan sebuah tas biru yang akan kugunakan untuk membawa HP-ku yang rusak ke toko itu.
***

            Sore hari itu Ayah memenuhi janjinya. Beliau mengantarku ke tempat servis HP. Adik laki-lakiku ternyata ingin ikut juga. Ia tak pernah mau ditinggal. Kami bertiga naik sepeda motor milik paman, karena Ayah tidak membawa sepeda motornya ke sini. Ayah, Ibu, dan Adik mengunjungi paman dan bibi dengan menaiki bus. Sepeda motor itu masih cukup untuk dinaiki bertiga karena Adikku masih kecil. Ayah menjalankan sepeda motornya dengan kecepatan sedang, tempat servis HP yang kami tuju tidaklah jauh. Hanya sekitar 2 km. Letaknya di daerah pasar. Kebetulan hari sudah sore, jadi pasar itu  sudah tidak terlalu ramai.
            Seteleh tiba di halaman depan sebuah toko bercat kuning, kami turun. Di situlah tempat servis HP itu berada. Aku, Ayah, dan Adikku pun masuk. Memang pelayanannya tidaklah terlalu ramah. Seorang pegawai wanita berseragam kuning yang ada di toko itu sedikitpun tidak tersenyum, menyambut pun tidak. Berbeda sekali dengan orang Jepang yang setiap kali tokonya disinggahi oleh pelanggan, mereka akan tersenyum dan menyambut pelanggan itu dengan hangat.
            Aku, Ayah, dan Adikku duduk di kursi-kursi yang berjajar di depan rak kaca tempat banyak handphone dipajang, dipamerkan kepada khayalak agar mereka tertarik membelinya. Namun tak satupun yang benar-benar ingin aku beli. Aku hanya ingin handphone-ku segera dapat digunakan lagi.
            Ayah menyampaikan kerusakan handphone-ku kepada pegawai wanita yang tampaknya memang tidak tahu caranya tersenyum itu.
            “…layarnya tiba-tiba mati, terus tidak bisa dinyalakan lagi sampai sekarang…” jelas Ayah panjang lebar.
            Aku tak benar-benar mendengarkan apa yang Ayah bicarakan dengan pegawai itu, lagipula Adikku terus saja usil, bahkan dia sekarang menjulur-julurkan lidahnya padaku.
            Pegawai itu pun beranjak dari kursinya, ia memanggil atasannya setelah merasa dirinya tidak tahu apa yang menyebabkan handphone-ku bisa rusak begitu. Seorang pria agak gemuk menduduki kursi yang tadi dipakai pegawai itu. Kupikir dialah pemilik toko handphone itu. Ia menanyakan kembali kerusakan handphone-ku. Lalu mencoba memikirkan apa yang menjadi penyebabnya.
            “Wah, sepertinya cukup parah, Pak. Apa ditinggal dulu saja? Sepertinya cukup lama memperbaikinya, mungkin besok jadi,” ujar pria yang agak gemuk itu.
            Ayahku memandangku sekilas lalu berkata,”Bagaimana, Ndhuk?”
            “Ya sudah, Yah. Ditinggal saja tidak apa-apa. Besok kalau sudah jadi diambil,” kataku.
            Ayah kembali berkata kepada pria tersebut,”Baiklah, HP-nya ditinggal saja dulu, besok diambil. Kira-kira jam berapa bisa jadi, Pak?”
            “Belum jelas jam berapa, bagaimana kalau saya minta nomor yang dapat dihubungi saja, besok saya kabari lewat telepon,” kata pemilik toko itu.
            “Tolong tuliskan nomor Ayah, Ndhuk. Kamu hafal kan?” tanya Ayah.
            “Ya, Ayah,” kataku. Aku pun menyebutkan tiap digit nomor handphone Ayahku dengan teliti, kemudian si pemilik toko menyimpannya dalam telepon genggamnya.
            Setelah itu, si pemilik toko yang agak gemuk itu menuliskan sesuatu pada selembar kertas, mungkin itu notanya. Ia lalu menyerahkannya pada Ayahku.
            Ayahku berpamitan, lalu kami semua naik kembali ke atas sepeda motor untuk pulang.
***

            Liburan seperti ini jika tidak sibuk di rumah, aku biasanya jalan-jalan ke pusat kota bersama Adikku dan saudara-saudara sepupuku. Hari ini pun sebenarnya aku sedang tidak sibuk di rumah, namun aku mengurungkan niat untuk jalan-jalan ke pusat kota karena aku masih menunggu kabar tentang handphone-ku.
Sekarang sudah tengah hari, adzan Dzuhur sayup-sayup terdengar dari masjid di ujung jalan dekat rumahku. Namun telepon genggam Ayah tak juga berdering. Pukul 9 pagi tadi telepon Ayah berdering sekali, namun ternyata yang menelepon adalah rekan kerja Ayahku. Aku kecewa. Sampai tengah hari begini belum ada kabar mengenai handphone-ku.
Aku menghabiskan waktu dengan bermain laptop bersama saudara-saudaraku atau menonton acara televisi. Hanya itulah hal-hal yang dapat mengurangi rasa bosanku menunggu.
Pukul 3 sore. Tak ada seorangpun yang menghubungi. Ayah sepertinya tahu kalau aku sedang menunggu kabar mengenai telepon genggamku. Beliau juga tampak risau, mengapa sampai sore begini belum ada kabar. Padahal pemilik toko HP itu sudah berjanji akan menelepon kami hari ini.
“Belum ada telepon, Ndhuk?” tanya Ayah kepadaku.
“Belum ada, Yah,” jawabku.
Masa belum ada kabar, katanya yang punya toko itu, hari ini mau telepon,” kata Ayah. “Ya sudah, Ayah kok malah penasaran, Ndhuk, nanti jam 4 kita ke toko itu lagi ya?” lanjutnya.
“Iya Ayah,” kataku.
“Ayah, Adik ikut!” teriak Adik sambil berlari.
“Iya, iya, Adik nanti boleh ikut,” ucap Ayah dengan tenang.
Pukul 4 sore aku sudah mandi, begitu pula Adik dan Ayah. Ayah kembali meminjam sepeda motor milik paman untuk pergi ke toko HP yang kami datangi kemarin sore. Sedangkan aku mengambil tas biru yang kupakai kemarin.
Usai memarkir sepeda motor, Ayah masuk ke dalam toko bercat kuning itu diikuti oleh aku dan Adik. Ayah duduk di salah satu kursi yang berada di depan pria pemilik toko HP yang agak gemuk itu. Beliau lalu menanyakan perihal handphone-ku.
“Maaf, Pak. Kami sudah ke sini sebelum dihubungi oleh Anda. Soalnya sejak pagi saya tunggu-tunggu, Anda tidak telepon juga, jadi kami memutuskan untuk ke sini. Jadi bagaimana HP-nya, Pak?” tanya Ayah dengan tenang.
“Oh, ya. Sebentar,” pria yang agak gemuk itu menekan-nekan handphone miliknya lalu menelepon seseorang. Ia terlibat percakapan yang cukup serius.
Aku mendengar kata-kata “gimana?” lalu “belum?” setelah itu “kapan? Oh, ya, ya begitu. Ya sudah.” Dan telepon pun diputus.
“Aduh, maaf. Sepertinya HP Anda masih diperbaiki, kata petugas yang memperbaiki, kerusakannya cukup parah. Mungkin besok siang atau sore Anda bisa ke sini lagi,” kata pemilik toko sambil meletakkan ponselnya.
“Besok?” tanya Ayah. “Wah, ya sudah. Insya Allah besok sore saya datang lagi, kalau begitu kami permisi,” lanjutnya, lalu kami beranjak dari toko itu.
***

Hari ini aku kembali menolak ajakan saudara sepupuku untuk jalan-jalan ke pusat kota.
“Besok, deh. Aku mau nunggu HP-ku jadi dulu,” alasan ini berkali-kali kuucapkan pada mereka.
“Ambilnya nanti sore saja, Kak. Sekarang, kita jalan-jalan,” kata Dinda, salah satu saudara sepupuku ketika membujukku.
“Siang-siang begini, kan panas sekali,” aku berusaha mencari alasan.
“Ah, Kak Anna nggak asyik,” ujar Fadhil kakak Dinda.
Makanya, doakan supaya HP-ku cepat jadi, nanti kan kita bisa jalan-jalan ke kota,” kataku.
“Kak Anna ini keras kepala. Ya sudah, aku ikut doakan. Tapi pokoknya kalau HP kakak sudah jadi, kakak janji ya, habis itu kita jalan-jalan, oke?” tanya Dinda.
Insya Allah,” jawabku.
***

Sore itu Ayah kembali mengantarku ke tempat servis HP yang kami datangi kemarin. Adik ikut lagi. Dia membawakan tas biru milikku, tak biasanya dia mau membantu membawakan tasku, ia pasti menginginkan sesuatu. Adik menyerahkan tas itu sambil merayu, katanya dia minta jajan mie ayam kalau HP-ku sudah jadi. Aku menyuruhnya bertanya pada Ayah, karena aku sedang tidak punya uang.
“Kata Ayah, Adik disuruh Tanya sama Kakak,” katanya.
“Kalau Kakak sih mau saja, coba tanya lagi deh sama Ayah,” pintaku.
Adik berjalan ke arah Ayah, menanyakan hal yang kusuruh tadi, terdengar Ayah berkata, “Ya.” Lalu kami berangkat.
Untuk yang ketiga kalinya kami memasuki ruangan bercat kuning itu. Kami bertanya pada petugas wanita yang pernah kami temui dulu. Dengan masih sama cemberutnya, ia berkata bahwa Pak Andri, si pemilik toko, sedang pergi mengambil HP di salah satu cabang tokonya yang lain dan kami diminta menunggu. Barulah aku tahu nama pemilik toko yang agak gemuk itu adalah Pak Andri.
Aku berbincang sedikit dengan Ayah dan Adik ketika menunggu Pak Andri. Rasanya lama sekali Pak Andri tak juga datang, petugas wanita itu membiarkan kami menunggu, sedangkan ia menemui pelanggan lain.
Sekitar seperempat jam kami menunggu, akhirnya Pak Andri tiba. Ia segera menemui kami, lalu ia berkata, “Maaf.”
“Tidak apa-apa, Pak. Jadi, bagaimana?” Ayah bertanya padanya.
Dan sekali lagi Pak Andri itu berkata, “Maaf.”
Aku sudah tahu pasti kelanjutan jawabannya, pasti dia akan berkata bahwa telepon genggamku belum sepenuhnya dibetulkan. Mungkin besok sore lagi, besok sore lagi, besok sore lagi…
“Belum jadi, Pak, handphone-nya. Kalau besok sore mungkin sudah jadi,” katanya. Persis seperti dugaanku.
Kami pulang dengan tangan hampa. Apakah besok sore masih belum jadi juga? Lalu kapan?
Ayah mengendarai sepeda motornya kembali ke rumah dengan kecepatan sedang, seperti biasa. Adik juga tampak sangat kecewa.
“Huh, nggak jadi beli mie ayam…” keluh Adik.
Tanpa kami sadari, Ayah memperlambat laju sepeda motornya, lalu menepi. Ternyata Ayah membawa kami ke sebuah warung mie ayam. Adik sangat senang.
“Wah, kita beli mie ayam, Yah?” tanya Adik kepada Ayah.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Tapi HP kakak belum selesai dibetulkan, kok Ayah sudah beliin mie ayam?” tanya Adik penasaran.
Nggak apa-apa. Kan katanya Adik ingin makan mie ayam,” Ayah tersenyum tulus. “Tapi dibungkus saja, ya? Kita makan sama-sama di rumah.”
“Baik Ayah,” kata Adik.
“Terima kasih Ayah,” kataku.
“Iya, Adik juga mau bilang terima kasih sama Ayah,” kata Adik.
Kami memesan mie ayam dalam jumlah yang cukup banyak untuk dimakan bersama-sama di rumah. Karena, seluruh keluarga besar kakek dan nenek sedang berkumpul untuk menikmati liburan.
***

Kokok ayam jantan membangunkanku pukul 5 pagi keesokan harinya, Ayah dan Ibu telah bangun lebih awal dariku, mereka telah shalat Shubuh, dan sekarang telah duduk-duduk di depan rumah. Aku bergegas mengambil air wudhu lalu mendirikan shalat. Setelah itu menyusul yang lain di depan rumah. Saudara-saudaraku yang lain juga telah duduk-duduk di depan rumah bersama Ayah dan Ibu. Sudah menjadi kebiasaan kami tiap pagi jalan santai keliling kompleks rumah.
Hari ini berjalan seperti biasa, saudara sepupuku kembali merengek mengajak jalan-jalan ke pusat kota.
“Kalau nggak jadi-jadi HP-nya kapan kita jalan-jalan, Kak? Udah, deh, kita jalan saja sekarang!” Dinda tak sabar lagi.
“Kalau mau ya pergi saja sendiri, aku nggak bisa, Dik,” kataku.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi besok, terserah aku mau ikut atau tidak, pokoknya besok!
Sore harinya, pukul 4, aku kembali pergi ke toko HP Pak Andri bersama Ayah dan Adikku dengan membawa tas biru kesayanganku. Aku tak mau berharap banyak. Paling nanti belum jadi, terus bilang ‘besok saja datang kemari lagi, mungkin sudah jadi’. Aku sudah muak.
Di toko bercat kuning itu, Pak Andri sedang duduk membersihkan ponsel-ponsel yang dipajang di rak kaca. Ayah langsung duduk di depannya, namun tiba-tiba Ayah berdiri lagi.
Astaghfirullah!” teriaknya sambil berdiri.
“Ada apa, Yah?” tanyaku dan Adik hampir bersamaan.
Tepat di atas kursi yang Ayah duduki, sebatang rokok yang masih panjang menyala. Seseorang pria gemuk jelek yang duduk di samping kursi Ayah terkejut, lalu segera mengambil rokok itu. Kurasa itu pemiliknya.
Betapa herannya aku, rokok yang telah diduduki Ayah itu tidak dibuangnya, melainkan dihisap lagi! Panas sekali rasanya dadaku ini, bukan, bukan karena rokoknya. Tapi karena tiba-tiba dia tertawa! Mungkin baginya ini lucu, bagi orang-orang di toko itu, hal ini merupakan suatu hiburan baru. Tapi tidak untukku. Tidakkah dia merasa kalau rokoknya yang diletakkan sembarangan itu bisa membuat orang lain terluka? Tidakkah dia berpikir asapnya pun mengganggu orang lain. Bahkan ia tidak mengucapkan kata maaf sama sekali! Orang macam apa dia! Sudah gemuk, jelek pula! Ingin rasanya aku meneriakinya. Tapi mana mungkin, banyak orang, nanti malah ribut.
Tapi Ayah hanya diam. Setelah rokok yang baru saja ia duduki diambil pemiliknya, beliau duduk dengan tenang di depan kursi Pak Andri. Pak Andri langsung mengerti apa maksudnya. Ia memanggil petugasnya, seorang laki-laki kurus menghampirinya. Setelah itu Pak Andri menyuruh laki-laki itu mengambil HP-ku, lalu ia pergi.
Ayah masih berbincang-bincang dengan Pak Andri. Sementara aku masih kesal memandang pemilik rokok yang Ayah duduki tadi. Aku mengibas-ngibaskan tanganku menunjukkan betapa aku tak suka asap rokok, dan memasang muka sebal. Orang tadi tak acuh.
“Tenang saja, Pak. Sekarang sudah diperbaiki. Cukup parah memang,” kata Pak Andri kepada Ayah.
Beberapa menit kemudian laki-laki kurus tadi kembali dengan membawa sebuah telepon genggam berwarna hitam yang kukenali. Itu handphone-ku. Ia lalu menyerahkannya kepada Pak Andri, yang langsung menyerahkannya kepada Ayahku.
Ayah mengamati ponsel itu, lalu mencoba menyalakannya. Setelah cukup yakin, ia serahkan padaku.
“Bagaimana, Ndhuk?” Ayah bertanya.
Aku meraihnya dari tangan Ayah dan mencoba menggunakannya. Setelah kuamati ternyata HP-ku telah diformat, dikembalikan ke pengaturan awal seperti baru. Beberapa program aplikasiku hilang, game dan internet browser. Tapi tak apa, asalkan ponselku ini masih bisa digunakan. Aku mengangguk.
“Sepertinya sudah bagus, Yah,” kataku.
Alhamdulillah,” Ayah menghela napas lega.
Setelah yakin handphone-ku telah pulih, Ayah mengeluarkan uang sebanyak Rp 50.000,00 untuk membayar biayanya. Kami pamitan, aku masih melirik pria gemuk jelek perokok tadi. Dia masih asyik tertawa-tawa dengan petugas wanita pemurung yang kami temui kemarin. Anehnya, wanita itu sekarang tertawa keras. Aku curiga mereka masih ngobrol tentang kejadian tadi.
Daripada semakin emosi, aku segera keluar mengikuti Ayah ke arah parkiran.
Aku langsung bertanya pada Ayah setelah kami berada di tempat parkir, di luar jarak dengar orang-orang yang ada di toko HP tadi,“Ayah tidak apa-apa? Rokoknya tadi…”
“Tidak apa-apa, celana Ayah cuma berlubang sedikit,” Ayah memotong kata-kataku. Anehnya lagi, Ayah juga tertawa.
Aku melihat ada bekas terbakar di celananya, kecil, memang. Tapi aku tak bisa terima perlakuan orang tadi kepadanya.
“Kok Ayah tertawa?! Kan nggak lucu, kalau Ayah luka bagaimana? Masa menaruh rokok di atas kursi! Nggak dibuang, malah dihisap lagi! Lagipula kok bisa sih orang tadi malah tertawa, nggak minta maaf sedikitpun!” aku malah marah-marah di depan Ayah.
“Sudahlah, kita pulang dulu,” Ayah langsung menyalakan sepeda motornya. Aku tak habis pikir, Ayah malah tertawa. Padahal aku begitu emosinya.
Beberapa menit berlalu, kami tiba di rumah. Aku membuka tas biruku yang di dalamnya terdapat telepon genggamku yang baru saja diperbaiki. Mencoba mengeceknya sekali lagi, dan hasilnya cukup memuaskan. Ayah bercerita kepada Ibu tentang kerusakan HP-ku. Aku ingat kejadian tadi.
Aku pun menceritakannya kepada Ibu. Lagi-lagi Ayah tertawa.
“Ayah! Kok tertawa lagi?! Anna saja yang nggak kena rokok itu kesal dibuatnya. Anna nggak bisa bayangkan lho, Bu. Orang itu malah tertawa sama petugas toko perempuan yang nggak pernah tersenyum itu! Bagaimana nggak kesal coba, Bu!” aku marah-marah.
“Yang kena Ayah kok kamu yang sewot sih, Ndhuk?” Ayah masih tersenyum.
“Ayah itu, lho! Kebiasaan kalau duduk nggak hati-hati. Lihat-lihat dulu to, kalau mau duduk. Orang itu kok ya nggak minta maaf gitu, nggak ada rasa pekewuh sama sekali. Malah diambil lagi terus dihisap, orang kok ya ada yang kayak gitu!” Ibu ikut marah.
“Itu dia, Bu. Anna juga berpikir begitu, Ayah juga malah diam saja,” aku menimpali.
“Terus Ayah mau bagaimana lagi?” tanya Ayah.
Aku dan Ibu terdiam.
“Harusnya kita bersyukur, HP-mu sudah bisa dipakai lagi, Ndhuk.” Ayah menasihati. “Mudah-mudahan nggak rusak lagi, jadi Ayah Ibu bisa menghubungi kamu lebih mudah. Jangan lupa, kamu besok bisa ajak Adik-adikmu jalan-jalan ke kota,” lanjutnya.
***

Menjelang adzan maghrib, aku duduk sendiri di teras rumah. Tempat kegemaranku menghabiskan waktu sore. Aku membawa setumpuk buku, mencoba membaca sambil menikmati udara sore hari.
Ayah menghampiriku di teras.
“Belajar, Ndhuk?” tanya Ayah.
Aku mengangguk.
“Bagus, yang rajin ya, Ndhuk. Ayah mau lihat kamu jadi gadis shalehah dan sukses,” kata Ayah.
Insya Allah, Yah. Doakan Anna,” ucapku.
Ayah terdiam sejenak.
“Tidak seharusnya kamu marah-marah seperti tadi,” aku tahu apa yang dimaksudkan Ayah. Pasti masalah tadi.
“Tapi Anna kasihan sama Ayah, memang cuma sedikit bekasnya, tapi dia tidak minta maaf, Ayah,” protesku. Boleh saja kan kalau aku marah untuk membela Ayahku?
“Iya, Ayah tahu. Kamu seperti itu karena sayang pada Ayah, tapi, Anna jangan sampai emosi berlebihan seperti itu,” Ayah menasihati. “Kita harus sabar,” lanjutnya.
Ayah menghela napas sejenak, di sudut matanya telah tampak garis-garis keriputnya. Rambutnya di bagian tengah kepala sudah mulai berwarna putih. Selama ini beliau begitu banyak mencurahkan tenaganya untuk bekerja demi aku.
“Dengar, Ndhuk. Ayah mungkin tidak benar-benar bisa bersabar sepenuhnya, tapi kamu harus tahu, Ndhuk. Kesabaran itu sangat disukai Allah. Allah sangat memurkai orang-orang yang tidak dapat menahan hawa nafsunya, Allah menyukai orang-orang yang sabar. Sabar itu cahaya. Kesabaran yang ada pada dirimu akan menerangi hatimu. Bahkan kesabaran itu akan memberikan cahaya pada sekelilingmu,” kata Ayah.
Aku bingung pada kalimat terakhir yang Ayah ucapkan tadi. Dan sepertinya Ayah tahu kalau aku sedang bingung.
“Kamu akan tahu setelah kamu bisa bersabar, Ndhuk. Allah sendiri yang akan membalasnya. Sungguh, bersabar itu indah, cobalah sedikit bersabar. Mengerjakan tugasmu, misalnya. Kalau kamu kerjakan dengan grusa-grusu, setengah hati, tentu saja nilai tugasmu tidak maksimal. Tapi kalau kamu sabar, mau teliti, Ndhuk. Insya Allah hasilnya bagus. Bayangkan kalau kamu hidup dengan bersabar, apa yang kamu dapat di akhirat nanti? Surga, Ndhuk. Sesuai janji-Nya,” jelas Ayah panjang lebar.
Kedua matanya menatapku dengan sayang. Sementara bulir-bulir air mata menetes hangat di pipiku.
“Jadi bersabarlah, Ndhuk. Insya Allah semua keinginanmu bisa terwujud. Ayah dengar kamu mau kuliah Kedokteran di UGM to? Susah memang, Ayah juga tahu. Tapi kalau kita sabar, Allah pasti memberi kita jalan,” lanjutnya.
Aku memang menginginkan masuk kedokteran UGM. Aku pun tahu, masuk UGM itu sangat susah, apalagi Kedokteran Umum. Memang hidup kami saat ini serba cukup, dan Alhamdulillah, sangat cukup. Namun masuk universitas hebat seperti UGM, tentu saja tidak sedikit biayanya. Butuh usaha ekstra. Itulah kenapa Ayah dan Ibu selalu bekerja tak kenal lelah. Mengingat ini, aku sangat kasihan pada mereka. Rasanya aku hanya menyusahkan mereka. Paling tidak, hanya ada dua hal yang dapat kulakukan untuk mereka. Belajar agar lolos seleksi melalui jalur prestasi agar dapat meringankan beban mereka, dan selalu mendoakan mereka.
Ayahku benar-benar luar biasa. Aku kagum atas kesabarannya. Dan kini, beliau mengajarkan padaku tentang kesabaran. Memberiku sebuah nasihat berharga yang akan terus kubawa sepanjang hidupku. Nasihat dari Ayahku yang kusayang. Sungguh menyentuh hati. Aku akan berusaha seperti Ayah, bersabar meniti hidup.
Ayahku yang kubanggakan, demi dia dan Ibundaku aku ikhlas menuntut ilmu di sini. Sungguh-sungguh aku berjanji tak akan membuat mereka terluka lagi, dan lagi.
***

Sore ini, aku kembali duduk di teras rumahku, sendiri. Kembali menekuni lembaran-lembaran buku. Aku juga harus belajar, apalagi untuk ulangan besok. Ayah dan Ibuku telah kembali ke tempat mereka bekerja, Adik ikut serta. Angin sore berhembus sepoi-sepoi, menembus serat kain jilbabku ketika aku mengingat salah satu pelajaran yang amat berharga dari Ayahku.
Dalam hati aku sungguh bersyukur atas segala hal yang pernah terjadi waktu itu. Sebatang rokok panas yang menyala itu tak hanya menyisakan setitik lubang di celana Ayah. Namun karena bimbingan Ayah, sekarang aku paham. Setiap lika-liku hidup membawa sebuah pemahaman. Sebatang rokok itu pun juga. Aku tahu, rokok memanglah bukan barang yang berguna. Aku bahkan sangat benci asapnya. Aku menyesali pemakaiannya oleh manusia, tak banyak faedahnya. Namun, batang rokok yang ada waktu itu lain.  Batang rokok itu membawa cahaya. Secercah cahaya kesabaran.


***

Ditulis oleh : Ima Wasista, diselesaikan pada 4 September 2010, 19:16 WIB di Kota Wonogiri tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar