Selasa, 02 Oktober 2012

Sebuah Cerpen untuk Ayah: "Cahaya Sebatang Rokok"

Cerpen ini dibuat pada tahun 2010 untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia di SMA 1 Wonogiri, dengan persentase 50% fakta dan 50% fiksi. Meski dengan bahasa yang masih sederhana, semoga cerpen ini dapat bermanfaat dan dapat dipetik hikmahnya. Dengan penuh rasa sayang, ku persembahkan cerpen ini untukmu, Almarhum Ayahku. Ayah paling hebat di dunia, yang senantiasa sabar, dan kasihnya tiada tara. Semoga Allah mengampunimu, Ayahku. Semoga Dia berikan kenikmatan abadi dalam surga-Nya untukmu. Meski tak lama aku bisa bersamamu di dunia ini, semoga Allah pertemukan kita di jannah-Nya yang kekal. Semoga meski engkau telah jauh di sana, aku bisa tetap membuatmu bangga, Ayah. Aamiin.

Cahaya Sebatang Rokok

            Langit biru cerah terhampar di hadapanku. Awan putih bergelombang melayang-layang lembut, bagai kapas putih yang tertiup angin semilir. Pohon mangga di depan rumah menjulang tinggi. Warnanya hijau bagaikan zamrud, menyejukkan di tengah siang hari yang suhunya sepanas ini.
            Di teras rumah ini aku duduk. Membiarkan hembusan angin membelai pipiku. Ujung jilbabku berkibar-kibar karena angin itu. Aku masih berusaha memahami kata demi kata dalam tiap lembaran kertas sambil menghirup udara siang yang panas. Sekali lagi ini terjadi dalam hidupku, besok ulangan! Entah berapa kali lagi aku harus menghadapinya sepanjang hidupku. Soal-soal untuk menguji pemahamanku. Terkadang malas rasanya. Tiap kali membuka buku, nyanyian ‘Nina Bobo’ langsung terngiang di telinga dan mengajak kelopak mata untuk mengatupkan dirinya. Tapi inilah hidupku yang harus kujalani dan kusyukuri.
            Ya, bersyukur. Bersyukur atas segala hal. Bersyukur untuk segala kesempurnaan yang ada pada diriku dan bersyukur untuk hidupku yang luar biasa berarti ini. Dan dengan memandang langit biru di atas itu, rasa syukurku membuncah. Bagaimana tidak, warna biru adalah warna yang sangat kusukai, dan warna itu terlukis di langit sebagai ciptaan-Nya yang begitu mempesona. Asalkan hari cerah, warna biru itu akan selalu tampak di atas sana. Namun bukan berarti aku tak suka hujan, titik-titik air dari langit yang sejuk itu juga ciptaan-Nya yang agung. Karena Dia Maha Agung. Hanya kepada-Nya lah aku wajib bersyukur.
            Aku ingat, beberapa waktu yang lalu seorang guruku mengajarkanku tentang syukur. Beliau berkata bahwa aku harus melihat sekelilingku dan bersyukur atas apa yang ada di sekitarku. Namun bersyukur itu bukan berarti setelah kita mendapat hal yang kita sukai. Terkadang kejadian buruk yang terjadi pada kita adalah sesuatu yang harus kita syukuri. Kenapa? Karena bisa jadi kejadian buruk itulah yang membawa kita pada suatu hal yang baik. Seperti kupu-kupu yang harus bersusah payah keluar dari kepompongnya dalam waktu yang lama. Namun jika waktu keluar dari kepompong itu dipercepat, sayapnya yang indah tidak akan dapat mengembang dengan sempurna.
            Begitulah yang terjadi pada hidup manusia, segala kesulitan yang harus dihadapi dalam hidup perlu juga disyukuri. Karena kesulitan itulah yang akan membawa kita pada kekuatan. Maka inilah aku, duduk di teras rumah dengan setumpuk buku. Berusaha mensyukuri segala hal yang kuhadapi. Termasuk bersyukur untuk ulangan itu.
            Aku akan berusaha semampuku agar nilaiku baik. Mengapa? Tentu saja itu semua demi masa depanku juga kebahagiaan kedua orang tuaku. Dua orang yang teramat kusyukuri keberadaannya di dunia. Dua orang yang sering kusakiti namun tak pernah berkeluh kesah. Dua orang yang dengan sabar merawat dan membimbingku. Dan dua orang yang amat menyayangiku. Mereka memang tidak di sini. Mereka tinggal jauh di sana untuk bekerja. Sedangkan aku tinggal bersama paman dan bibiku. Mereka mengirimku ke sini tak lain hanyalah untuk menimba ilmu. Meraih masa depanku dengan gemilang.
           Tentu saja kalau boleh memilih, aku lebih suka tinggal dengan Ayah Ibuku. Selain lebih dekat dengan mereka, aku bisa lebih mudah memperoleh bimbingan dari mereka. Lagipula tinggal dengan Ayah dan Ibu, lingkungannya lebih sehat. Karena di desa, tempat tinggal Ayah dan Ibu masih segar udaranya, dan udara dalam rumah pun bersih karena Ayah tak pernah merokok. Lain halnya dengan di sini, di kota besar yang penuh polusi. Selain itu, di sini tak hanya tinggal paman dan bibi, nenek juga ada, begitu juga kakekku. Bukannya aku tak suka mereka, aku sayang mereka semua. Yang membuatku tak suka, kakek itu seorang perokok berat. Setiap hari kakek merokok setidaknya 2-3 batang bahkan mungkin lebih. Sedikitpun aku tak suka ada orang yang merokok. Benci sekali aku ini dengan rokok. Apa manfaatnya sih rokok itu? Tak ada!
Namun, aku tetap tinggal di sini, seperti kataku tadi, demi ilmu. Seperti orang tua baik yang lainnya, Ayah dan Ibuku memintaku sekolah di sini agar pendidikanku lebih terjamin. Karena, SMA di sini lebih berkualitas. Betapa baiknya kedua orang tuaku ini. Sungguh, makin sayang aku pada mereka.
            Hal itu mengingatkanku kepada seorang sahabat yang bertanya pada seorang pria paling sempurna ciptaan Tuhan,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang lebih berhak aku utamakan?”
            Rasulullah bersabda,”Ibumu.”
            Sahabat itu bertanya lagi,”Lalu siapakah?”
            Rasulullah menjawab,”Ibumu.”
            Lalu sahabat itu bertanya lagi,”Kemudian siapa?”
            Rasulullah kembali menjawab,”Ibumu.”
            Sahabat tersebut kembali bertanya,”Kemudian siapa?”
            Rasulullah menjawab,”Ayahmu.”
            Rasulullah saja bersabda kalau yang lebih berhak diutamakan adalah ibu, tentu saja, sebagai umatnya yang baik aku harus mengikuti sunnahnya.
            Ibundaku yang tercinta. Yang kasihnya tiada pernah pudar. Seorang yang melahirkanku ke dunia. Serta membesarkanku dengan penuh rasa sayang. Jasanya selama hidupku tak akan pernah sanggup kubalas. Yang bisa kulakukan hanyalah mengungkapkan rasa terima kasihku melalui kata-kata pada tiap bait puisiku.
            Ayahandaku yang tercinta. Seseorang yang juga bermakna dalam hidupku. Berbagai puisi telah kutuliskan untuk Ibu, maka inilah saatnya, biarlah kucurahkan dalam lembaran-lembaran kertas ini untuk Ayahku. Kan kusampaikan, betapa aku bangga memiliki seorang Ayah seperti dirinya.
            Ayahku. Bagiku dialah pria kedua yang paling hebat di dunia setelah Rasulullah yang kucinta. Beliaulah yang membimbingku dan rela berkorban untukku. Dan satu hal yang sangat aku banggakan, Ayah adalah orang yang amat sabar.
            Aku mengingat suatu peristiwa dalam hidupku yang terjadi kira-kira beberapa bulan yang lalu ketika liburan semester pertama. Suatu ketika handphone-ku rusak. Tak dapat dinyalakan, apalagi digunakan untuk berkomunikasi. Ketika liburan, Ayah dan Ibu berkunjung ke rumah paman. Aku selama ini memang tak perlu repot-repot mengunjungi mereka. Ayah, Ibu, serta Adik laki-lakikulah yang mengunjungi rumah paman untuk bertemu denganku. Saat mereka tiba, aku merengek kepada mereka. Meminta mereka untuk membawa handphone-ku ke toko selular untuk diperbaiki.
            “Rusak? Kok bisa? Ya sudah, nanti agak sore kita bawa ke toko HP untuk diperbaiki,” ujar Ibu ketika mendengar keluhanku.
            Siang hari itu Ayah banyak bekerja dalam rumah, sekedar bersih-bersih, sedangkan Ibu memasak. Ketika sore menjelang, aku kembali mempertanyakan masalah handphone  yang rusak itu.
            “Iya, Ndhuk. Tapi besok saja ya, Ibu dan Ayah masih lelah,” kata Ibu kepadaku.
            “Ibu ini bagaimana, tadi siang Ibu bilang mau  diperbaiki nanti sore. Ini sudah hampir sore lho, Bu. Kok malah ditunda besok?” protesku.
            Lha Ibu dan Ayah ini capek, Ndhuk. Memangnya tidak bisa ditunda sebentar saja. Cuma besok, kok,” kata Ibu.
            “Ibu kan sudah berjanji,” aku tak mau kalah.
            “Tapi…,” Ibu hendak menimpali namun telah dipotong oleh Ayah.
            “Sudahlah, Bu. Nanti saja kita ke toko HP untuk membetulkan HP-nya Anna,” kata Ayah menengahi.
            “Ayah ini apa tidak capek, tadi sudah bersih-bersih seharian,” kata Ibu.
“Ya sedikit, tapi kan kasihan Anna, Bu. Handphone-nya rusak dan harus segera diperbaiki,” Ayah membelaku.
“Baiklah, tapi Ibu tidak bisa ikut, ya. Ibu mau di rumah saja, capek,” kata Ibu.
            “Ya sudah, biar Anna Ayah saja yang antar,” kata Ayah.
            Aku senang sekali mendengarnya. Tak lama lagi, handphone-ku yang rusak akan segera diperbaiki. Aku segera menyiapkan sebuah tas biru yang akan kugunakan untuk membawa HP-ku yang rusak ke toko itu.
***

            Sore hari itu Ayah memenuhi janjinya. Beliau mengantarku ke tempat servis HP. Adik laki-lakiku ternyata ingin ikut juga. Ia tak pernah mau ditinggal. Kami bertiga naik sepeda motor milik paman, karena Ayah tidak membawa sepeda motornya ke sini. Ayah, Ibu, dan Adik mengunjungi paman dan bibi dengan menaiki bus. Sepeda motor itu masih cukup untuk dinaiki bertiga karena Adikku masih kecil. Ayah menjalankan sepeda motornya dengan kecepatan sedang, tempat servis HP yang kami tuju tidaklah jauh. Hanya sekitar 2 km. Letaknya di daerah pasar. Kebetulan hari sudah sore, jadi pasar itu  sudah tidak terlalu ramai.
            Seteleh tiba di halaman depan sebuah toko bercat kuning, kami turun. Di situlah tempat servis HP itu berada. Aku, Ayah, dan Adikku pun masuk. Memang pelayanannya tidaklah terlalu ramah. Seorang pegawai wanita berseragam kuning yang ada di toko itu sedikitpun tidak tersenyum, menyambut pun tidak. Berbeda sekali dengan orang Jepang yang setiap kali tokonya disinggahi oleh pelanggan, mereka akan tersenyum dan menyambut pelanggan itu dengan hangat.
            Aku, Ayah, dan Adikku duduk di kursi-kursi yang berjajar di depan rak kaca tempat banyak handphone dipajang, dipamerkan kepada khayalak agar mereka tertarik membelinya. Namun tak satupun yang benar-benar ingin aku beli. Aku hanya ingin handphone-ku segera dapat digunakan lagi.
            Ayah menyampaikan kerusakan handphone-ku kepada pegawai wanita yang tampaknya memang tidak tahu caranya tersenyum itu.
            “…layarnya tiba-tiba mati, terus tidak bisa dinyalakan lagi sampai sekarang…” jelas Ayah panjang lebar.
            Aku tak benar-benar mendengarkan apa yang Ayah bicarakan dengan pegawai itu, lagipula Adikku terus saja usil, bahkan dia sekarang menjulur-julurkan lidahnya padaku.
            Pegawai itu pun beranjak dari kursinya, ia memanggil atasannya setelah merasa dirinya tidak tahu apa yang menyebabkan handphone-ku bisa rusak begitu. Seorang pria agak gemuk menduduki kursi yang tadi dipakai pegawai itu. Kupikir dialah pemilik toko handphone itu. Ia menanyakan kembali kerusakan handphone-ku. Lalu mencoba memikirkan apa yang menjadi penyebabnya.
            “Wah, sepertinya cukup parah, Pak. Apa ditinggal dulu saja? Sepertinya cukup lama memperbaikinya, mungkin besok jadi,” ujar pria yang agak gemuk itu.
            Ayahku memandangku sekilas lalu berkata,”Bagaimana, Ndhuk?”
            “Ya sudah, Yah. Ditinggal saja tidak apa-apa. Besok kalau sudah jadi diambil,” kataku.
            Ayah kembali berkata kepada pria tersebut,”Baiklah, HP-nya ditinggal saja dulu, besok diambil. Kira-kira jam berapa bisa jadi, Pak?”
            “Belum jelas jam berapa, bagaimana kalau saya minta nomor yang dapat dihubungi saja, besok saya kabari lewat telepon,” kata pemilik toko itu.
            “Tolong tuliskan nomor Ayah, Ndhuk. Kamu hafal kan?” tanya Ayah.
            “Ya, Ayah,” kataku. Aku pun menyebutkan tiap digit nomor handphone Ayahku dengan teliti, kemudian si pemilik toko menyimpannya dalam telepon genggamnya.
            Setelah itu, si pemilik toko yang agak gemuk itu menuliskan sesuatu pada selembar kertas, mungkin itu notanya. Ia lalu menyerahkannya pada Ayahku.
            Ayahku berpamitan, lalu kami semua naik kembali ke atas sepeda motor untuk pulang.
***

            Liburan seperti ini jika tidak sibuk di rumah, aku biasanya jalan-jalan ke pusat kota bersama Adikku dan saudara-saudara sepupuku. Hari ini pun sebenarnya aku sedang tidak sibuk di rumah, namun aku mengurungkan niat untuk jalan-jalan ke pusat kota karena aku masih menunggu kabar tentang handphone-ku.
Sekarang sudah tengah hari, adzan Dzuhur sayup-sayup terdengar dari masjid di ujung jalan dekat rumahku. Namun telepon genggam Ayah tak juga berdering. Pukul 9 pagi tadi telepon Ayah berdering sekali, namun ternyata yang menelepon adalah rekan kerja Ayahku. Aku kecewa. Sampai tengah hari begini belum ada kabar mengenai handphone-ku.
Aku menghabiskan waktu dengan bermain laptop bersama saudara-saudaraku atau menonton acara televisi. Hanya itulah hal-hal yang dapat mengurangi rasa bosanku menunggu.
Pukul 3 sore. Tak ada seorangpun yang menghubungi. Ayah sepertinya tahu kalau aku sedang menunggu kabar mengenai telepon genggamku. Beliau juga tampak risau, mengapa sampai sore begini belum ada kabar. Padahal pemilik toko HP itu sudah berjanji akan menelepon kami hari ini.
“Belum ada telepon, Ndhuk?” tanya Ayah kepadaku.
“Belum ada, Yah,” jawabku.
Masa belum ada kabar, katanya yang punya toko itu, hari ini mau telepon,” kata Ayah. “Ya sudah, Ayah kok malah penasaran, Ndhuk, nanti jam 4 kita ke toko itu lagi ya?” lanjutnya.
“Iya Ayah,” kataku.
“Ayah, Adik ikut!” teriak Adik sambil berlari.
“Iya, iya, Adik nanti boleh ikut,” ucap Ayah dengan tenang.
Pukul 4 sore aku sudah mandi, begitu pula Adik dan Ayah. Ayah kembali meminjam sepeda motor milik paman untuk pergi ke toko HP yang kami datangi kemarin sore. Sedangkan aku mengambil tas biru yang kupakai kemarin.
Usai memarkir sepeda motor, Ayah masuk ke dalam toko bercat kuning itu diikuti oleh aku dan Adik. Ayah duduk di salah satu kursi yang berada di depan pria pemilik toko HP yang agak gemuk itu. Beliau lalu menanyakan perihal handphone-ku.
“Maaf, Pak. Kami sudah ke sini sebelum dihubungi oleh Anda. Soalnya sejak pagi saya tunggu-tunggu, Anda tidak telepon juga, jadi kami memutuskan untuk ke sini. Jadi bagaimana HP-nya, Pak?” tanya Ayah dengan tenang.
“Oh, ya. Sebentar,” pria yang agak gemuk itu menekan-nekan handphone miliknya lalu menelepon seseorang. Ia terlibat percakapan yang cukup serius.
Aku mendengar kata-kata “gimana?” lalu “belum?” setelah itu “kapan? Oh, ya, ya begitu. Ya sudah.” Dan telepon pun diputus.
“Aduh, maaf. Sepertinya HP Anda masih diperbaiki, kata petugas yang memperbaiki, kerusakannya cukup parah. Mungkin besok siang atau sore Anda bisa ke sini lagi,” kata pemilik toko sambil meletakkan ponselnya.
“Besok?” tanya Ayah. “Wah, ya sudah. Insya Allah besok sore saya datang lagi, kalau begitu kami permisi,” lanjutnya, lalu kami beranjak dari toko itu.
***

Hari ini aku kembali menolak ajakan saudara sepupuku untuk jalan-jalan ke pusat kota.
“Besok, deh. Aku mau nunggu HP-ku jadi dulu,” alasan ini berkali-kali kuucapkan pada mereka.
“Ambilnya nanti sore saja, Kak. Sekarang, kita jalan-jalan,” kata Dinda, salah satu saudara sepupuku ketika membujukku.
“Siang-siang begini, kan panas sekali,” aku berusaha mencari alasan.
“Ah, Kak Anna nggak asyik,” ujar Fadhil kakak Dinda.
Makanya, doakan supaya HP-ku cepat jadi, nanti kan kita bisa jalan-jalan ke kota,” kataku.
“Kak Anna ini keras kepala. Ya sudah, aku ikut doakan. Tapi pokoknya kalau HP kakak sudah jadi, kakak janji ya, habis itu kita jalan-jalan, oke?” tanya Dinda.
Insya Allah,” jawabku.
***

Sore itu Ayah kembali mengantarku ke tempat servis HP yang kami datangi kemarin. Adik ikut lagi. Dia membawakan tas biru milikku, tak biasanya dia mau membantu membawakan tasku, ia pasti menginginkan sesuatu. Adik menyerahkan tas itu sambil merayu, katanya dia minta jajan mie ayam kalau HP-ku sudah jadi. Aku menyuruhnya bertanya pada Ayah, karena aku sedang tidak punya uang.
“Kata Ayah, Adik disuruh Tanya sama Kakak,” katanya.
“Kalau Kakak sih mau saja, coba tanya lagi deh sama Ayah,” pintaku.
Adik berjalan ke arah Ayah, menanyakan hal yang kusuruh tadi, terdengar Ayah berkata, “Ya.” Lalu kami berangkat.
Untuk yang ketiga kalinya kami memasuki ruangan bercat kuning itu. Kami bertanya pada petugas wanita yang pernah kami temui dulu. Dengan masih sama cemberutnya, ia berkata bahwa Pak Andri, si pemilik toko, sedang pergi mengambil HP di salah satu cabang tokonya yang lain dan kami diminta menunggu. Barulah aku tahu nama pemilik toko yang agak gemuk itu adalah Pak Andri.
Aku berbincang sedikit dengan Ayah dan Adik ketika menunggu Pak Andri. Rasanya lama sekali Pak Andri tak juga datang, petugas wanita itu membiarkan kami menunggu, sedangkan ia menemui pelanggan lain.
Sekitar seperempat jam kami menunggu, akhirnya Pak Andri tiba. Ia segera menemui kami, lalu ia berkata, “Maaf.”
“Tidak apa-apa, Pak. Jadi, bagaimana?” Ayah bertanya padanya.
Dan sekali lagi Pak Andri itu berkata, “Maaf.”
Aku sudah tahu pasti kelanjutan jawabannya, pasti dia akan berkata bahwa telepon genggamku belum sepenuhnya dibetulkan. Mungkin besok sore lagi, besok sore lagi, besok sore lagi…
“Belum jadi, Pak, handphone-nya. Kalau besok sore mungkin sudah jadi,” katanya. Persis seperti dugaanku.
Kami pulang dengan tangan hampa. Apakah besok sore masih belum jadi juga? Lalu kapan?
Ayah mengendarai sepeda motornya kembali ke rumah dengan kecepatan sedang, seperti biasa. Adik juga tampak sangat kecewa.
“Huh, nggak jadi beli mie ayam…” keluh Adik.
Tanpa kami sadari, Ayah memperlambat laju sepeda motornya, lalu menepi. Ternyata Ayah membawa kami ke sebuah warung mie ayam. Adik sangat senang.
“Wah, kita beli mie ayam, Yah?” tanya Adik kepada Ayah.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Tapi HP kakak belum selesai dibetulkan, kok Ayah sudah beliin mie ayam?” tanya Adik penasaran.
Nggak apa-apa. Kan katanya Adik ingin makan mie ayam,” Ayah tersenyum tulus. “Tapi dibungkus saja, ya? Kita makan sama-sama di rumah.”
“Baik Ayah,” kata Adik.
“Terima kasih Ayah,” kataku.
“Iya, Adik juga mau bilang terima kasih sama Ayah,” kata Adik.
Kami memesan mie ayam dalam jumlah yang cukup banyak untuk dimakan bersama-sama di rumah. Karena, seluruh keluarga besar kakek dan nenek sedang berkumpul untuk menikmati liburan.
***

Kokok ayam jantan membangunkanku pukul 5 pagi keesokan harinya, Ayah dan Ibu telah bangun lebih awal dariku, mereka telah shalat Shubuh, dan sekarang telah duduk-duduk di depan rumah. Aku bergegas mengambil air wudhu lalu mendirikan shalat. Setelah itu menyusul yang lain di depan rumah. Saudara-saudaraku yang lain juga telah duduk-duduk di depan rumah bersama Ayah dan Ibu. Sudah menjadi kebiasaan kami tiap pagi jalan santai keliling kompleks rumah.
Hari ini berjalan seperti biasa, saudara sepupuku kembali merengek mengajak jalan-jalan ke pusat kota.
“Kalau nggak jadi-jadi HP-nya kapan kita jalan-jalan, Kak? Udah, deh, kita jalan saja sekarang!” Dinda tak sabar lagi.
“Kalau mau ya pergi saja sendiri, aku nggak bisa, Dik,” kataku.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi besok, terserah aku mau ikut atau tidak, pokoknya besok!
Sore harinya, pukul 4, aku kembali pergi ke toko HP Pak Andri bersama Ayah dan Adikku dengan membawa tas biru kesayanganku. Aku tak mau berharap banyak. Paling nanti belum jadi, terus bilang ‘besok saja datang kemari lagi, mungkin sudah jadi’. Aku sudah muak.
Di toko bercat kuning itu, Pak Andri sedang duduk membersihkan ponsel-ponsel yang dipajang di rak kaca. Ayah langsung duduk di depannya, namun tiba-tiba Ayah berdiri lagi.
Astaghfirullah!” teriaknya sambil berdiri.
“Ada apa, Yah?” tanyaku dan Adik hampir bersamaan.
Tepat di atas kursi yang Ayah duduki, sebatang rokok yang masih panjang menyala. Seseorang pria gemuk jelek yang duduk di samping kursi Ayah terkejut, lalu segera mengambil rokok itu. Kurasa itu pemiliknya.
Betapa herannya aku, rokok yang telah diduduki Ayah itu tidak dibuangnya, melainkan dihisap lagi! Panas sekali rasanya dadaku ini, bukan, bukan karena rokoknya. Tapi karena tiba-tiba dia tertawa! Mungkin baginya ini lucu, bagi orang-orang di toko itu, hal ini merupakan suatu hiburan baru. Tapi tidak untukku. Tidakkah dia merasa kalau rokoknya yang diletakkan sembarangan itu bisa membuat orang lain terluka? Tidakkah dia berpikir asapnya pun mengganggu orang lain. Bahkan ia tidak mengucapkan kata maaf sama sekali! Orang macam apa dia! Sudah gemuk, jelek pula! Ingin rasanya aku meneriakinya. Tapi mana mungkin, banyak orang, nanti malah ribut.
Tapi Ayah hanya diam. Setelah rokok yang baru saja ia duduki diambil pemiliknya, beliau duduk dengan tenang di depan kursi Pak Andri. Pak Andri langsung mengerti apa maksudnya. Ia memanggil petugasnya, seorang laki-laki kurus menghampirinya. Setelah itu Pak Andri menyuruh laki-laki itu mengambil HP-ku, lalu ia pergi.
Ayah masih berbincang-bincang dengan Pak Andri. Sementara aku masih kesal memandang pemilik rokok yang Ayah duduki tadi. Aku mengibas-ngibaskan tanganku menunjukkan betapa aku tak suka asap rokok, dan memasang muka sebal. Orang tadi tak acuh.
“Tenang saja, Pak. Sekarang sudah diperbaiki. Cukup parah memang,” kata Pak Andri kepada Ayah.
Beberapa menit kemudian laki-laki kurus tadi kembali dengan membawa sebuah telepon genggam berwarna hitam yang kukenali. Itu handphone-ku. Ia lalu menyerahkannya kepada Pak Andri, yang langsung menyerahkannya kepada Ayahku.
Ayah mengamati ponsel itu, lalu mencoba menyalakannya. Setelah cukup yakin, ia serahkan padaku.
“Bagaimana, Ndhuk?” Ayah bertanya.
Aku meraihnya dari tangan Ayah dan mencoba menggunakannya. Setelah kuamati ternyata HP-ku telah diformat, dikembalikan ke pengaturan awal seperti baru. Beberapa program aplikasiku hilang, game dan internet browser. Tapi tak apa, asalkan ponselku ini masih bisa digunakan. Aku mengangguk.
“Sepertinya sudah bagus, Yah,” kataku.
Alhamdulillah,” Ayah menghela napas lega.
Setelah yakin handphone-ku telah pulih, Ayah mengeluarkan uang sebanyak Rp 50.000,00 untuk membayar biayanya. Kami pamitan, aku masih melirik pria gemuk jelek perokok tadi. Dia masih asyik tertawa-tawa dengan petugas wanita pemurung yang kami temui kemarin. Anehnya, wanita itu sekarang tertawa keras. Aku curiga mereka masih ngobrol tentang kejadian tadi.
Daripada semakin emosi, aku segera keluar mengikuti Ayah ke arah parkiran.
Aku langsung bertanya pada Ayah setelah kami berada di tempat parkir, di luar jarak dengar orang-orang yang ada di toko HP tadi,“Ayah tidak apa-apa? Rokoknya tadi…”
“Tidak apa-apa, celana Ayah cuma berlubang sedikit,” Ayah memotong kata-kataku. Anehnya lagi, Ayah juga tertawa.
Aku melihat ada bekas terbakar di celananya, kecil, memang. Tapi aku tak bisa terima perlakuan orang tadi kepadanya.
“Kok Ayah tertawa?! Kan nggak lucu, kalau Ayah luka bagaimana? Masa menaruh rokok di atas kursi! Nggak dibuang, malah dihisap lagi! Lagipula kok bisa sih orang tadi malah tertawa, nggak minta maaf sedikitpun!” aku malah marah-marah di depan Ayah.
“Sudahlah, kita pulang dulu,” Ayah langsung menyalakan sepeda motornya. Aku tak habis pikir, Ayah malah tertawa. Padahal aku begitu emosinya.
Beberapa menit berlalu, kami tiba di rumah. Aku membuka tas biruku yang di dalamnya terdapat telepon genggamku yang baru saja diperbaiki. Mencoba mengeceknya sekali lagi, dan hasilnya cukup memuaskan. Ayah bercerita kepada Ibu tentang kerusakan HP-ku. Aku ingat kejadian tadi.
Aku pun menceritakannya kepada Ibu. Lagi-lagi Ayah tertawa.
“Ayah! Kok tertawa lagi?! Anna saja yang nggak kena rokok itu kesal dibuatnya. Anna nggak bisa bayangkan lho, Bu. Orang itu malah tertawa sama petugas toko perempuan yang nggak pernah tersenyum itu! Bagaimana nggak kesal coba, Bu!” aku marah-marah.
“Yang kena Ayah kok kamu yang sewot sih, Ndhuk?” Ayah masih tersenyum.
“Ayah itu, lho! Kebiasaan kalau duduk nggak hati-hati. Lihat-lihat dulu to, kalau mau duduk. Orang itu kok ya nggak minta maaf gitu, nggak ada rasa pekewuh sama sekali. Malah diambil lagi terus dihisap, orang kok ya ada yang kayak gitu!” Ibu ikut marah.
“Itu dia, Bu. Anna juga berpikir begitu, Ayah juga malah diam saja,” aku menimpali.
“Terus Ayah mau bagaimana lagi?” tanya Ayah.
Aku dan Ibu terdiam.
“Harusnya kita bersyukur, HP-mu sudah bisa dipakai lagi, Ndhuk.” Ayah menasihati. “Mudah-mudahan nggak rusak lagi, jadi Ayah Ibu bisa menghubungi kamu lebih mudah. Jangan lupa, kamu besok bisa ajak Adik-adikmu jalan-jalan ke kota,” lanjutnya.
***

Menjelang adzan maghrib, aku duduk sendiri di teras rumah. Tempat kegemaranku menghabiskan waktu sore. Aku membawa setumpuk buku, mencoba membaca sambil menikmati udara sore hari.
Ayah menghampiriku di teras.
“Belajar, Ndhuk?” tanya Ayah.
Aku mengangguk.
“Bagus, yang rajin ya, Ndhuk. Ayah mau lihat kamu jadi gadis shalehah dan sukses,” kata Ayah.
Insya Allah, Yah. Doakan Anna,” ucapku.
Ayah terdiam sejenak.
“Tidak seharusnya kamu marah-marah seperti tadi,” aku tahu apa yang dimaksudkan Ayah. Pasti masalah tadi.
“Tapi Anna kasihan sama Ayah, memang cuma sedikit bekasnya, tapi dia tidak minta maaf, Ayah,” protesku. Boleh saja kan kalau aku marah untuk membela Ayahku?
“Iya, Ayah tahu. Kamu seperti itu karena sayang pada Ayah, tapi, Anna jangan sampai emosi berlebihan seperti itu,” Ayah menasihati. “Kita harus sabar,” lanjutnya.
Ayah menghela napas sejenak, di sudut matanya telah tampak garis-garis keriputnya. Rambutnya di bagian tengah kepala sudah mulai berwarna putih. Selama ini beliau begitu banyak mencurahkan tenaganya untuk bekerja demi aku.
“Dengar, Ndhuk. Ayah mungkin tidak benar-benar bisa bersabar sepenuhnya, tapi kamu harus tahu, Ndhuk. Kesabaran itu sangat disukai Allah. Allah sangat memurkai orang-orang yang tidak dapat menahan hawa nafsunya, Allah menyukai orang-orang yang sabar. Sabar itu cahaya. Kesabaran yang ada pada dirimu akan menerangi hatimu. Bahkan kesabaran itu akan memberikan cahaya pada sekelilingmu,” kata Ayah.
Aku bingung pada kalimat terakhir yang Ayah ucapkan tadi. Dan sepertinya Ayah tahu kalau aku sedang bingung.
“Kamu akan tahu setelah kamu bisa bersabar, Ndhuk. Allah sendiri yang akan membalasnya. Sungguh, bersabar itu indah, cobalah sedikit bersabar. Mengerjakan tugasmu, misalnya. Kalau kamu kerjakan dengan grusa-grusu, setengah hati, tentu saja nilai tugasmu tidak maksimal. Tapi kalau kamu sabar, mau teliti, Ndhuk. Insya Allah hasilnya bagus. Bayangkan kalau kamu hidup dengan bersabar, apa yang kamu dapat di akhirat nanti? Surga, Ndhuk. Sesuai janji-Nya,” jelas Ayah panjang lebar.
Kedua matanya menatapku dengan sayang. Sementara bulir-bulir air mata menetes hangat di pipiku.
“Jadi bersabarlah, Ndhuk. Insya Allah semua keinginanmu bisa terwujud. Ayah dengar kamu mau kuliah Kedokteran di UGM to? Susah memang, Ayah juga tahu. Tapi kalau kita sabar, Allah pasti memberi kita jalan,” lanjutnya.
Aku memang menginginkan masuk kedokteran UGM. Aku pun tahu, masuk UGM itu sangat susah, apalagi Kedokteran Umum. Memang hidup kami saat ini serba cukup, dan Alhamdulillah, sangat cukup. Namun masuk universitas hebat seperti UGM, tentu saja tidak sedikit biayanya. Butuh usaha ekstra. Itulah kenapa Ayah dan Ibu selalu bekerja tak kenal lelah. Mengingat ini, aku sangat kasihan pada mereka. Rasanya aku hanya menyusahkan mereka. Paling tidak, hanya ada dua hal yang dapat kulakukan untuk mereka. Belajar agar lolos seleksi melalui jalur prestasi agar dapat meringankan beban mereka, dan selalu mendoakan mereka.
Ayahku benar-benar luar biasa. Aku kagum atas kesabarannya. Dan kini, beliau mengajarkan padaku tentang kesabaran. Memberiku sebuah nasihat berharga yang akan terus kubawa sepanjang hidupku. Nasihat dari Ayahku yang kusayang. Sungguh menyentuh hati. Aku akan berusaha seperti Ayah, bersabar meniti hidup.
Ayahku yang kubanggakan, demi dia dan Ibundaku aku ikhlas menuntut ilmu di sini. Sungguh-sungguh aku berjanji tak akan membuat mereka terluka lagi, dan lagi.
***

Sore ini, aku kembali duduk di teras rumahku, sendiri. Kembali menekuni lembaran-lembaran buku. Aku juga harus belajar, apalagi untuk ulangan besok. Ayah dan Ibuku telah kembali ke tempat mereka bekerja, Adik ikut serta. Angin sore berhembus sepoi-sepoi, menembus serat kain jilbabku ketika aku mengingat salah satu pelajaran yang amat berharga dari Ayahku.
Dalam hati aku sungguh bersyukur atas segala hal yang pernah terjadi waktu itu. Sebatang rokok panas yang menyala itu tak hanya menyisakan setitik lubang di celana Ayah. Namun karena bimbingan Ayah, sekarang aku paham. Setiap lika-liku hidup membawa sebuah pemahaman. Sebatang rokok itu pun juga. Aku tahu, rokok memanglah bukan barang yang berguna. Aku bahkan sangat benci asapnya. Aku menyesali pemakaiannya oleh manusia, tak banyak faedahnya. Namun, batang rokok yang ada waktu itu lain.  Batang rokok itu membawa cahaya. Secercah cahaya kesabaran.


***

Ditulis oleh : Ima Wasista, diselesaikan pada 4 September 2010, 19:16 WIB di Kota Wonogiri tercinta.

Minggu, 14 November 2010

Tidak Menyentuh yang Bukan Mahram, Kok Malu??

Assalamu’alaykum wa rahmatullahi wa barokaatuh..^^
Sekedar berbagi pengalaman saya, yang insyaAllah di dalamnya terselip hikmah untuk kita.
Suatu ketika, saya berada di kelas bersama semua teman-teman saya. Waktu itu, saya ngobrol dengan teman-teman saya (yang akhwat lho..). Tapi, tiba-tiba ada salah seorang ikhwan yang nimbrung juga. Masing-masing menyampaikan opininya. Nah, waktu saya menyampaikan opini saya, ikhwan yang nimbrung tadi ternyata juga sependapat dengan saya. Terus, dia malah ngajak toss saya. Nah lo, mana mau saya disentuh sama yang bukan mahram saya? Jadi, waktu dia ngajak toss itu, saya cuma menangkupkan telapak tangan saya (tahu kan kamsudnya?)Nah, si ikhwan itu lalu berkata, “Yah, kamu itu! Aku jadi malu.”Jadi, dia malu karena ajakan tossnya saya tolak. Dengan kata lain, dia malu karena nggak jadi bersentuhan dengan seseorang yang bukan mahramnya. Malu karena hal seperti itu?Nah, sobat sekalian, itu tadi kisah singkat saya. Sudah bisa memetik hikmahnya?Intinya, remaja sekarang ini kebanyakan (nggak semua lho yaa..) malah malu kalau nggak bersentuhan sama yang non-mahram. Kalau kita sebagai umat muslim, harusnya malu kalau sampai menyentuh yang belum halal buat kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam aja nggak pernah kok menyentuh yang bukan mahram beliau. Katanya kita umat beliau, ya dicontoh dunk. Malu, kalau kita ngaku umatnya Rasulullah tapi malah nggak meniru beliau. Malu, kalau masih asik-asik aja pegangan tangan sama yang bukan mahram kita.Khususnya para muslimah nih, antunna tahu yang namanya berlian? Mahal gak? Ya iyalah. Bayangin aja kita punya berlian (wow!) yang mahal abis! Cantik abis! Keren abis! Pokoknya abis-abisan lah. Boleh nggak berlian kalian yang paling bagus itu dipegang-pegang sama orang lain? Nggak Sayang, takut rusak dunk, takut lecet! Nah, itu dia, kenapa Allah subhanahu wa ta’ala nggak membolehkan kita (para muslimah) disentuh seenaknya aja sama cowok! Allah mau kita tetep terjaga. Tetep cantik. Tetep mahal, makanya, jangan jadi muslimah murahan yang seenaknya aja disentuh-sentuh, terus dibuang! Memangnya kita mau? Nggak Nah sobat, makanya, jaga dirimu! Jaga tubuhmu! Supaya kita jadi seperti berlian. Supaya kita jadi perhiasan yang terindah. Ingat hadits ini,“Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah” (H.R. Muslim)OK. Semoga melalui uraian kisah saya tadi Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberi pengetahuan yang bermanfaat buat kita semua. Amiin. >Wassalamu’alaykum wa rahmatullahi wa barokaatuh..^^

Senin, 01 November 2010

Ibu, Strawberry, dan Surga


Saat masih kecil, aku tinggal jauh di desa. Bersama ayah dan ibundaku. Di sebuah rumah nan sederhana, namun penuh cinta. Suatu hari, aku sangat ingin merasakan buah strawberry. Karena aku hanya bisa merasakan rasa strawberry dari selai roti, atau rasa vitamin anak-anak saja. Aku hanya bisa melihat gambarnya, namun tidak tahu rasanya.
Di suatu sore, aku berkata pada ibu.“Bu, aku mau buah stroberi, rasanya gimana ya? Apa sama seperti rasa vitamin itu? Manis?” tanyaku.
“Rasanya agak asam, tapi kalau sudah dijadikan vitamin kan ditambah gula, jadi manis. Memangnya kenapa, Nak?” Tanya ibu.
“Aku mau, Bu. Kapan-kapan belikan yang banyak ya, Bu?” pintaku.
“Hmm. Mau nggak, ibu ceritakan tentang surga?” Tanya ibu. Agak tidak nyambung memang. Aku minta dibelikan buah strawberry, tapi ibu malah menceritakan surga. Pada akhirnya, akupun mau.
Ibu menceritakan surga dan keindahannya. Banyak malaikat dan bidadari yang tinggal di sana. Bidadari itu cantik-cantik dan baik hati pula. Dan orang-orang yang baik tinggal di sana. Semua hal yang diinginkan oleh orang-orang yang baik itu ada di surga. Allah pun akan menuruti semua keinginannya.
“Jadi, kalau aku minta stroberi yang banyak sekali, juga akan diberi, Bu?” tanyaku polos.
“Iya, di sana akan ada pohon stroberi yang banyak, bahkan bidadari-bidadari itu yang akan mengambilkannya untukmu, tinggal minta saja,” kata ibu.
“Tapi, harus jadi anak baik kalau mau ke surga, kamu mau, Nak?” lanjut ibu.
Aku mengangguk. Kalau begitu, aku mau jadi anak baik. Sehingga nanti, saat di surga, aku bisa meminta apapun yang kumau. Aku minta ibu selalu ada di sisiku. Jadi, aku bisa selalu bersamanya. Yaa Allah, pertemukan aku dengan beliau di Jannah-Mu. Amiin.

Senin, 25 Oktober 2010

Hukum Wanita Mengeriting Rambut

Pertanyaan:

Bagaimana hukum wanita mengeriting rambut? Padahal mengeriting adalah membuat lurus tergerai menjadi kusut tidak teratur. Ada yang mengeriting rambut untuk waktu yang tidak lama. Tetapi ada juga sebagian wanita pergi ke salon untuk menambahkan beberapa cairan ke rambut mereka hingga rambut mereka menjadi keriting dalam waktu enam bulan. Bagaiman pendapat Syaikh?

Jawaban Syaikh Shalih al-Fauzan:

Mengeriting rambut bagi wanita hukumnya mubah, selama tidak menyerupai wanita-wanita kafir, juga tidak untuk dipamerkan kepada pria yang bukan mahramnya. Selain itu, orang yang mengeriting rambut hendaklah wanita dari kerabat dekatnya, baik dikeriting untuk waktu yang singkat ataupun untuk waktu yang lama, baik menggunakan bahan-bahan yang mubah lainnya.

Catatan yang perlu diperhatikan, tidak boleh bagi wanita pergi ke salon-salon untuk melakukan itu semua, karena seorang wanita yang keluar dari rumahnya menimbulkan fitnah (godaan bagi pria) dan dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sebab wanita-wanita yang bekerja di salon bukanlah tipe wanita yang berpegang teguh terhadap agama. Terlebih lagi jika pegawai salon itu seorang lelaki, karena diharamkan bagi wanita yang menampakkan rambutnya kepada laki-laki yang bukan mahramnya.

***
Artikel muslimah.or.id

Sumber:
Fatwa Perhiasan Wanita, Abi Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud (Hal 149-150)
Murajaah: Ust Muhammad Abduh Tausikal


http://muslimah.or.id/fikih/hukum-wanita-mengeriting-rambut.html

Minggu, 10 Oktober 2010

Untukmu Yang Kucinta

Saat pertama kali berjumpa denganmu, kau tampak biasa saja, seperti orang-orang yang lainnya. Aku hanya bisa menatapmu dengan penuh rasa penasaran, siapakah dirimu? Lalu kau balas menatapku, dan melempar senyum manis untukku.Hari demi hari berlalu, aku tahu namamu dan mulai mengenalmu. Kau mengajariku banyak hal. Bersama, kita lalui perjalanan kita yang penuh canda tawa dan duka nestapa. Kita berbagi pengalaman dan ilmu. Di saat aku bahagia, kau ikut tersenyum melihatku, meski mungkin engkau sedang bersedih. Tak kau tunjukkan kesedihanmu karena kau tak ingin membebaniku, padahal itu semua beban untukmu. Dan di antara bahagiaku, kau senantiasa ingatkan agar aku tak lupa mengucap syukur pada-Nya atas nikmat yang Dia berikan..Ketika aku bersedih, kau selalu ada di sampingku, meminjamkan bahumu untukku bersandar.. Dan kau berikan kata-kata indah luar biasa yang dapat melecut semangatku hingga diri ini mampu bangkit kembali.Saat aku jauh darimu, diri ini merasa rindu, rindu ingin bertemu. Rindu saat-saat kita berbagi ilmu, bercanda tawa, dan menangis pilu.Setelah semua yang telah kita lewati bersama, banyak hal yang kau ajarkan, banyak hal yang telah kau korbankan untukku. Namun, apalah daya diri ini. Barangkali aku tak mungkin sanggup membalasnya. Aku hanya bisa berkata, Jazaakumullahu khoyron, ukhti, atas segala kebaikanmu. Semoga Allah Azza Wa Jalla mempermudah segala urusan kita, baik dunia maupun akhirat.. Semoga Dia jadikan kita hamba-Nya yang senantiasa istiqomah di jalan dakwah ini.. Dan semoga Dia pertemukan kita di jannah-Nya.. Amiin..Untukmu, saudariku yang kucinta, ana uhibbukum fillahi ta’ala.. =)

Ampuni Aku, Bila Menduakan Cinta-Mu


Assalamu’alaykum..^^
Yaa akhi wa ukhty fillah, terkadang Allah mempertemukan kita dengan someone special, yang memberi kesan berbeda buat kita, apalagi dengan yang namanya lawan jenis.. Memang, itu fitrah, bahkan sudah difirmankan oleh Allah,
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak…” (Q.S Ali Imran : 14)
Akan tetapi, manusia kadang khilaf, hingga berlebihan dalam mencinta.. Padahal mungkin dengan seseorang yang belum dihalalkan baginya.. Inilah sedikit renungan saya..
Bismillahirrahmanirrahiim..
Yaa Allah, ampuni aku.. Memang tak seharusnya diri ini menduakan cinta-Mu.. Cinta yang senantiasa Engkau berikan dalam setiap tarikan nafasku.. Cinta yang kedahsyatannya tak perlu diragukan lagi, akan tetapi sering kudustakan.. Dan kini, telah kuduakan dengan sesuatu yang benar-benar tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan-Mu..
Sungguh, semua mengakui bahwa perasaan cinta yang Engkau anugerahkan dalam jiwa setiap insan adalah fitrah.. Akan tetapi, mungkin iman ini terlalu lemah hingga cinta yang Kau beri di hati, hanya membuatku tersiksa..
Yaa Rabb, terlalu kotorkah hati ini hingga semua ini terjadi.. Aku ingin berusaha menjaga cintaku hanya untuk-Mu.. Hanya untuk-Mu.. Aku ingin membagi cinta ini pada orang yang tepat, dengan bagian yang tepat, namun di waktu yang tepat.. Bukan sekarang.. Bagaimana caraku menghilangkannya Yaa Allah.. Setiap kali aku ingin mengenyahkan rasa ini, semua menjadi semakin parah.. Aku tahu kelemahannya, akan tetapi aku masih saja tersenyum mendengarnya.. Yaa Allah, aku berlindung pada-Mu dari segala godaan syaithan.. Aku berlindung pada-Mu dari segala tipu dayanya.. Tipu daya yang membuat keburukan seseorang tampak indah di depan mataku..
Bilakah Engkau berkenan Yaa Allah, hilangkanlah perasaan ini.. Karena saat ini masih banyak yang harus aku lakukan.. Karena belum saatnya aku memenuhi separuh agama ini.. Karena dia belum halal bagiku, bahkan mungkin kami tak akan pernah Engkau halalkan bersama.. Pabila memang ia yang berhak atas diriku kelak, dekatkanlah kami jika saat itu tiba.. Jangan sekarang.. Jika Engkau berkenan, jauhkanlah kami saat ini, jauhkan hati kami Yaa Allah.. Agar hati ini tidak terus menerus dikotori cinta yang semu.. Hati ini terlalu lemah Yaa Rabb.. Hanya dengan kasih-Mu, aku bisa..
Untukmu akhi..
Wahai akhi, andaikan sejak dulu kau tundukkan pandanganmu, hati ini tak perlu ternoda.. Andaikan hijab ini selalu tertutup di antara kita, tak akan ada yang terluka.. Andaikan taushiyahmu kau berikan hanya untuk teman-teman ikhwanmu saja, hati ini tak akan dipermainkan oleh jerat syaithan.. Andaikan engkau tahu, bagaimana cara menjaga kesucian hati seorang wanita, diri ini tak akan melayang saat kau puji.. Andaikan engkau tak berlebihan dalam mencurahkan perhatian pada wanita, hati ini tak akan banyak berharap padamu..
Cukuplah sampai di sini akhi.. Kita hanya sebatas saudara sesama muslim.. Sesama aktivis dakwah yang harus berjuang bersama untuk menegakkan kalimat Allah di bumi ini.. Kita tak tahu bagaimana masa depan kita.. Mungkin aku yang terlalu percaya diri, hingga salah mengartikan semua perhatian darimu.. Mungkin hati ini yang terlalu lemah, hingga syaithan dengan mudah menyusupinya dengan virus-virus hati.. Kita mohon ampunan-Nya akhi, mohon perlindungan-Nya, semoga hati kita senantiasa dijaga oleh-Nya.. Dan semoga, cinta kita yang paling utama hanya tertuju pada-Nya..
Wassalamu’alaykum..^^

My 2nd Rohis's Event

Bismillahirrahmanirrahiim..
Hmm, memori indah ini baru bisa diposting sekarang.. Padahal udah dulu kegiatan ini dilaksanakan.. Tapi ya gak apa-apa lah.. Sebagai catatan sebuah memori indah dan mudah-mudahan banyak yang bisa dipetik dari kisah ini..
Ahad, 25 Juli 2010.. Wah, alhamdulillah, acara Isra' Mi'raj kemarin sudah selesai.. tapi masih ada acara lho,, biar hari Minggu, tapi di Smansa masih ada acara lomba Da'i MTQ.. Apalagi pesertanya semua SMP di Wonogiri, untuk memperingati HUT Smansa Wonogiri yang ke-48.. Wah wah, harus semangad nih! Kali ini aku jadi seksi konsumsi, meski gak seribet Isra' Mi'raj kemarin, tapi tetep harus dilaksanakan dengan sebaek2na.. Pagi-pagi jam setengah tujuh, kami anggota Rohis Smansari udah harus sampe di sekolah.. Yang ikhwan udah bersih" Masjid Al-Azhar yang mau dipake utk tempat lomba MTQ, dan di Aula Barat utk tempat upacara pembukaan dan lomba Da'i.. Sedangkan yang akhwat cari meja kecil untuk lomba MTQ, terus ngambil pesanan snack peserta dan panitia.. Sekitar jam setengah 8, pendaftaran dibuka.. Kami makin sibuk aja.. Sampai kadang harus bolak-balik dari SMA ke Aula Barat,, Tapi nggak sesibuk kemarin sih,, aku juga masih bisa lihat adik2 yang pinter banget jadi Da'i Cilik.. Aku dan teman2 sama beberapa mbak2 Rohis yang datang ikud lihat en mendengarkan tausiyah dari adik2 SMP itu.. Asiik, tambah ilmu juga nih.. Mereka hebat2 semua, jadi bingung pilih yang mau jadi juara.. Untungnya aku kan bukan juri, malah pusing sendiri nanti,, hehe.. Pokoknya kukasih jempol deh untuk adik2 Da’I Cilik.. Wah wah,, kalah hebat nih aku.. hmm..
Akhirnya acara pun usai,, dan pemenangnya udah diumumkan,, adik siapa namanya aku lupa,, hehe^^.. Habis penutupan, kami sedikit beres2 lalu ada evaluasi dari yang kelas XII tentang kedua acara yang baru aja kami selenggarakan. Yup! Isra' Mi'raj and Da'i MTQ.. Seperti yang udah kami duga, kakak2 gak suka sama minuman yang kami pesan waktu Isra' Mi'raj kemarin. karena pengalaman tahun lalu, kakak2 (yang ikhwan) memang gak setuju sama sekali karena ribet dan bikin kotor, sampe2 udah di BL (Blacklist) dan kami yang kelas XI, ikhwan sama akhwat masih kurang koordinasi dan komunikasi, jadi acara kami belum terlalu sesuai seperti yang diharapkan.. Habis itu, kami ke Masjidil Azhar untuk sholat Dzuhur.. dan mbak2nya juga ngasih evaluasi buat yang akhwat,, kita itu jarang tanya2 sama mbak2, jadi, kalo mau ada acara apa2, kalo bingung segera konsultasi sama mbak2nya, jadi kan kita bisa berbagi pengalaman, dan insyaALLAH bisa memperbaiki kekurangan tahun lalu..gituu.. Habis itu, salam-salaman, sambil cipika-cipiki,, trus pulang.. Hmm.. pengalaman baru! Perbaiki diri lagi supaya masa depan sukses! Amiin.. Go Rohis Smansa Wonogiri! Keep Spirit and istiqomah! ALLAHU AKBAR! :)